Mengapa Penolakan Putin pada Kesepakatan Gandum Ukraina Berdampak Secara Global?
SOCHI, SATUHARAPAN.COM-Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bertemu dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada hari Senin (4/9), berharap dapat membujuk pemimpin Rusia tersebut untuk bergabung kembali dengan perjanjian yang memungkinkan Ukraina mengekspor gandum dengan aman.
Moskow menarik diri dari perjanjian tersebut pada bulan Juli. Namun Putin menegaskan bahwa inisiatif tersebut tidak akan dipulihkan saat ini. Inilah yang hal-hal dipertaruhkan dari masalah itu.
Apa Hasil Pembicaraan?
Putin tidak memberikan tanggapan apa pun atas harapan akan bangkitnya kembali inisiatif ekspor biji-bijian tersebut, dengan mengatakan bahwa negara-negara Barat harus terlebih dahulu memenuhi tuntutannya untuk memfasilitasi ekspor pertanian Rusia.
Negara-negara Barat telah menampik keluhan-keluhan tersebut sebelumnya dan mengatakan tidak ada yang dapat menghentikan ekspor tersebut.
Mengapa Rusia Meningalkan Kesepakan Biji-bijian?
Kremlin menolak memperbarui perjanjian gandum yang habis masa berlakunya pada bulan Juli, dan mengklaim bahwa perjanjian paralel yang menjanjikan untuk menghilangkan hambatan terhadap ekspor makanan dan pupuk Rusia belum dipenuhi.
Moskow mengeluh bahwa pembatasan pengiriman dan asuransi menghambat perdagangan pertaniannya, meskipun negara tersebut telah mengirimkan gandum dalam jumlah besar sejak tahun lalu. Beberapa perusahaan enggan berbisnis dengan Rusia karena sanksi tersebut, meskipun negara-negara Barat telah memberikan jaminan bahwa ekspor makanan dan pupuk Rusia dikecualikan.
Kesepakatan awal, yang ditengahi oleh PBB dan Turki pada Juli 2022, mengizinkan hampir 33 juta metrik ton (36 juta ton) biji-bijian dan komoditas lainnya meninggalkan tiga pelabuhan Ukraina dengan aman meskipun ada perang di Rusia.
Mengapa Turki Yang Jadi Broker?
Putin dan Erdogan, keduanya pemimpin otoriter yang telah berkuasa selama lebih dari dua decade, dikatakan telah membina hubungan dekat setelah kudeta yang gagal terhadap Erdogan pada tahun 2016, ketika Putin menjadi pemimpin besar pertama yang menawarkan dukungannya.
Presiden Turki telah mempertahankan hubungan dekat selama perang 18 bulan. Turki belum mengikuti sanksi Barat terhadap Rusia setelah invasi mereka, sehingga Turki muncul sebagai mitra dagang utama dan pusat logistik untuk perdagangan luar negeri Rusia.
Pada saat yang sama, Turki, yang juga anggota NATO, juga mendukung Ukraina dengan mengirimkan senjata, bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, dan mendukung upaya Kiev untuk bergabung dengan aliansi Barat.
Sejak Putin menarik diri dari inisiatif tersebut, Erdogan telah berulang kali berjanji untuk memperbarui perjanjian yang membantu menghindari krisis pangan di beberapa bagian Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Ukraina dan Rusia adalah pemasok utama gandum, jelai, minyak bunga matahari, dan barang-barang lainnya yang diandalkan oleh negara-negara berkembang.
Hubungan Rusia-Turki Tidak Selalu “Merah”
Saingan tradisional, Turki dan Rusia berada di pihak yang berlawanan dalam konflik di Suriah, Libya, dan Nagorno-Karabakh. Meskipun demikian, hubungan antar negara di bidang energi, pertahanan, diplomasi, pariwisata dan perdagangan telah berkembang pesat.
Namun sejak terpilihnya kembali Erdogan pada bulan Mei, Putin telah menghadapi tantangan dalam negeri yang mungkin membuatnya tampak sebagai mitra yang kurang dapat diandalkan, terutama setelah pemberontakan bersenjata singkat yang dilakukan oleh mendiang kepala tentara bayaran Wagner, Yevgeny Prigozhin, pada bulan Juni.
Erdogan membuat marah Moskow pada bulan Juli ketika dia mengizinkan lima komandan Ukraina kembali ke negaranya. Para prajurit tersebut telah ditangkap oleh Rusia dan diserahkan ke Turki dengan syarat mereka tetap berada di sana selama perang berlangsung.
Apakah Mungkin Ada Terobosan?
Erdogan mengatakan Turki dan PBB telah menyiapkan paket proposal baru. “Kami yakin bahwa kami akan mencapai solusi yang akan memenuhi harapan dalam waktu singkat,” kata Erdogan setelah pembicaraan pada hari Senin di resor Sochi, Rusia.
Putin juga berharap kesepakatan itu dapat diperbarui jika tuntutannya dipenuhi.
Namun sebelumnya, Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, mengecam dan mengatakan bahwa “permainan Putin dalam perjanjian gandum adalah hal yang sinis.”
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, baru-baru ini mengirimkan “proposal konkret” kepada Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, yang bertujuan untuk membawa ekspor Rusia ke pasar global dan memungkinkan dimulainya kembali inisiatif Laut Hitam. Namun Lavrov mengatakan Moskow tidak puas dengan surat tersebut. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...