Mengapa Perang Sipil di Suriah Berkepanjangan?
SATUHARAPAN.COM – Mengapa perang sipil di Suriah begitu panjang, hampir tiga tahun? Lebih dari 200.000 orang tewas, dan lebih dari dua juta orang mengungsi ke negara tetangga, dan sekitar 4,5 juta warga terjebak dan terlantar di negeri mereka sendiri. Mereka adalah bagian dari total populasi Suriah sebanyak 22,5 juta jiwa yang ketakutan setiap saat, dan makin kehilangan harapan.
Mengapa juga upaya internasional untuk menyelesaikan masalah ini berlarut-larut, bahkan setelah kasus penggunaan senjata kimia pada 21 Agustus lalu? Pertemuan G-20 di St Petersburg, Rusia pun tidak memberikan sinyal yang jelas antara Amerika Serikat dan Rusia untuk solusi bagi Suriah.
Perang sipil di Suriah sebenarnya menadai “perang” yang lebih luas dan kompleks dari sekadar dilihat sebagai perang antara koalisi oposisi nasional dan pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad. Ada kepentingan-kepentingan luar yang terlibat, dan kepentingan-kepentingan faksi di dalam masing-masing pihak yang membuat peta konflik makin rumit.
Semua itu juga yang membuat sampai hari ini tidak terlihat upaya yang lebih memberi pengharapan. Masyarakat internasional menyerukan untuk solusi damai dan jalan diplomasi. Tetapi pertanyaan bagaiamana itu dilakukan? Nyaris tidak ada jawaban, sementara arus pengungsi terus terjadi, jumlah korban di tengah pertempuran terus bertambah, jutaan rakyat Suriah dalam ketakutan, dan kekerasan sektarian tak terbendung.
Keterlibatan Banyak Negara
Kebuntuan terlihat dari upaya Perserikatan Pangsa-bangsa dan Liga Arab yang menyelenggarakan Konferensi Jenewa Juni tahun lalu. Komitment pertemuan itu oleh kedua pihak tidak ada yang dijalankan. Pertemuan Juli lalu di Doha, Qatar, gagal, karena hanya dihadiri oleh koalisi oposisi. Hal ini makin menyulitkan, karena pihak opisisi dinyatakan sebagai wakil resmi Suriah. Seruan untuk konferensi Jenewa II juga tidak direspons oleh kedua pihak.
Masalah kedua, keterlibatan banyak negara di dalam krisis Suriah ini. Amerika Serikat berkepentingan dengan melemahkan rezim Al-Assad yang selama ini mendukung Hizbullah di Libanon, dan mempunyai hubungan yang dekat dengan Iran, dan kelompok-kelompok Islamis garis keras.
Rusia di sisi lain, seperti pernyataan Presiden Vladimir Putin, akan tetap membantu Suriah dalam persenjataan dan perdagangan. Iran sendiri berkepentingan dengan Suriah sebagai pekanjangan tangan untuk membatu kelompok Hizbullah dan Hamas di Palestina. Kemudian ada Israel yang harus waspada terhadap kelompok yang menjadi musuhnya terkait Palestina.
Faksi di Internal
Di dalam internal Suriah, dan terkait kelompok-kelompok yang ada di negara tetangga, membuat perang sipil di sana makin runyam. Rezim Al-Assad didukung oleh kelompok Hizbullah. Kelompok ini mempunyai catatan panjang sebagai ancaman bagi Israel dan AS dan mereka bermarkas di Beirut, Libanon, yang berbatasan wilayah dengan Suriah dan Israel.
Hizbullah disebut-sebut memperoleh pasokan senjata antara lain dari Suriah. Dalam konflik ini pun Hizbullah terlibat dengan mengirim pejuangnya ke Suriah melawan pemberontak dari kelompk opoisisi. Beberapa pekan lalu, kawasan yang dihuni kelompok Hizbullah di Beirut diserang bom oleh kelompok pemberontak.
Di dalam internal kelompok oposisi disebut-sebut banyak faksi. Al Nusra, muisalnya, di sebutkan sebagai bagian dari kelompok ini yang dua bulan lalu, oleh PBB dimasukkan dalam daftar kelompok teroris. Di luar itu disebut banyak organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Di Suriah bagian utara ada kelompok Kurdi yang berafiliasi dengan kelompok Kurdi di banyak negara, termasuk Turki.
Masalah Sektarian
Sejumlah pemberitaan dari dalam Suriah maupun dari luar menyebutkan banyak kekerasan yang didasarkan oleh sentiment sektarian. Kasus-kasus ini tidak mudah diidentifikasi, karena masing-masing pihak menuding pihak lain. Situasi di koalisi nasional dengan banyak faksi ini yang membuat AS dan sekutunya harus ekstra hati-hati dalam memberikan dukungan.
Faksi-faksi dengan berbagai kepentingan adalah tantangan penyelesaian krisis Suriah. Solusi intervensi militer terbatas dalam lingkup dan waktu, juga belum memberikan jaminan bahwa rezim Suriah akan turun kemampuannya menggunakan senjata kimia, bahkan tidak memberikan argumentasi yang kuat untuk penyelesaian krisis.
Melemahnya rezim Al-Assad apakah bisa mendorong para pihak di Suriah untuk berunding dan mencari jalan penyelesaian politik? Kekhawatiran yang muncul justru kekuatan militer dan persenjataan akan diambil oleh pemberontak, termasuk kemungkinan cadangan senjata kimia. Dalam hal ini tidak ada jaminan bahwa kekuatan tidak jatuh pada kelompok garis keras.
Sejauh ini, belum ada argumentasi yang kuat adanya konsolidasi pada koalisi oposisi, termasuk dalam membangun pemerintahan yang akuntabel. Bahkan gencatan senjata pun belum menjadi tawaran, termasuk pada bulan Ramadhan lalu seruan gencatan senjata sama sekali tidak didengar oleh para pihak. Apalagi kekerasan sektarian terus terjadi, terutama terhadap warga Kristen yang dipandang sebagai warga minoritas.
Konflik di Suriah menandai kengerian paling besar di abad ke-21 ini, bahkan para pemimpin dunia tidak memberikan harapan yang memadai. Presiden AS, Barack Obama, adalah pemenang hadiah Nobel Perdamaian, tetapi solusi yang diajukan justru intervensi militer.
Kita masih menunggu adanya harapan bagi perdamaian Suriah. Dan masih menunggu sampai hari ini.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...