Mengapa Perekrutan ISIS Berhasil?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Dari aspek internasional, salah satu perkembangan yang paling merisaukan pemerintah di negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya di Eropa adalah kemampuan kelompok teroris Islamic State in Iraq Syria (ISIS) dalam melakukan perekrutan di negara-negara Barat, khususnya perekrutan anak-anak muda melalui propaganda di media sosial, hampir tiap hari dilaporkan oleh media,” kata akademisi dan mantan menteri kabinet di era Gus Dur, Muhammad AS Hikam, dalam bukunya yang berjudul Deradikalisasi.
Buku setebal 230 halaman yang diluncurkan di Bentara Budaya, Jakarta Pusat, hari Jumat (12/2) itu mengupas soal penanggulangan radikalisme dan gerakan teroris. Dan, menarik menyimak halaman 16, tentang pertanyaan: mengapa organisasi teroris tersebut berhasil melakukan perekrutan secara internasional? Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas tentu tidak sederhana. Namun, menurut beberapa pakar dan praktisi yang menangani masalah itu, ada beberapa alasan mengapa kampaye dan propaganda ISIS menarik kalangan muda.
Pertama, kekecewaan dari kaum muda Muslim di negara-negara Barat terhadap kondisi kehidupan yang mereka alami, kendati secara ekonomi lebih dari cukup.
Kedua, kaum muda Muslim banyak yang terpesona dan bahkan tergoda oleh semangat juang yang ditawarkan yang dipertunjukan lewat berbagai tayangan di dunia maya, khususnya video dan propaganda di media sosial.
Ketiga, keinginan untuk menjadi martir (syahid) karena memperjuangkan agama menghadapi kaum kuffar.
Keempat, kegagalan negara dan aparatnya dalam upaya membendung propaganda ISIS serta pemahaman tentang Islam yang masih sangat kurang.
Dalam poin terakhir, sejatinya tambahan pandangan Hikam dalam penulisan, setelah mempelajari dan berbicara dengan beberapa pihak mengenai strategi pembendungan kaum teroris di negara-negara maju tersebut.
Meskipun untuk alasan pertama di atas kata Hikam kurang begitu relevan untuk kasus perekrutan ISIS di Indonesia, tetapi masalah ketidakpuasan kaum muda di negeri ini terhadap kondisi masyarakat modern yang semakin materialistis memiliki relevansi dan perlu dijadikan bahan pertimbangan.
“Bangaimanapun kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami proses perubahan fundamental dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern industrialis telah ikut menjadi salah satu faktor terjadinya ketersaingan (alienation) dan frustrasi di kalangan sebagian generasi muda,” kata dia.
Jika di Barat, lanjut Hikam, kondisi kemapanan ekonomi menyebabkan generasi muda Islam mencari sesuatu kegiatan yang lain dan lebih bermakna, di Indonesia sebaliknya, modernisasi dan industrialisasi menyebabkan marjinalisasi dan frustrasi kaum muda yang tidak memperoleh “kue” pembangunan dan industrialisasi.
“Maka, tawaran-tawaran gagasan alternatif untuk melakukan perubahan cepat pun menjadi sangat menarik, termasuk yang datangnya dari kelompok jihadi,” kata dia.
Namun, untuk alasan kedua sampai keempat, kata Hikam relevansinya lebih tinggi dan sangat penting diperhatikan baik oleh pemerintah maupun kalangan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk para agamawan Muslim dan ormas-ormas Islam, yang menyatakan menolak dan anti terhadap aksi kekerasan serta terorisme atas nama agama serta ideologi trasnasional radikal Islam seperi Al-Qaeda dan ISIS serta kelompok-kelompok sempalan mereka.
“Propaganda melalui jagat maya (cyber world) memang sangat intensif dilakukan oleh ISIS dan pendudungnya, dan cara-cara manipulasi informasi melalui tayangan video dan YouTube tampaknya juga efektif untuk menarik minat kaum muda. Inilah modeus operandi yang sejati perlu mendapat prioritas utama untuk dicegah,” katanya.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...