Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 06:35 WIB | Selasa, 21 Juni 2016

Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi

Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Seorang penari melakukan gerakan tari Whirling yang diiringi dengan alunan zikir yang diikuti oleh para jemaah yang digelar di Cafe Rumi di Wisma Iskandaryah, Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Senin (20/6). Tari Whirlng merupakan tarian sufi asal Turki yang secara perlahan mulai berkembang sebagai salah satu metode dakwah yang dilakukan Cafe Rumi dengan menggambarkan rasa cinta kepada seluruh makhluk hidup di alam semesta. (Foto-foto: Dedy Istanto).
Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Selain diiringi dengan zikir, tarian Whirling juga diiringi dengan alunan musik khas Timur Tengah seperti rebana dan gendang yang membuat sedikit ada sentuhan seni dalam berdakwah.
Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Tarian Whirling dengan iringan zikir dan alunan musik dengan niatan menyebut nama Allah membuat khusyuk seperti yang terlihat pada salah satu jemaah yang mengikuti kegiatan berzikir di Cafe Rumi.
Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Dengan kostum jubah berwarna putih dan tutup kepala yang panjang, seorang penari Whirling digambarkan sebagai proses pelepasan diri dari dunia menuju ke kehidupan kekal.
Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Meski dari latar belakang yang berbeda, jemaah di Cafe Rumi tidak memandang sebuah perbedaan, semua atas dasar cinta seperti salah satu kegiatan yang dilakukan dengan membaca selawat berjamaah yang dilanjutkan dengan berzikir bersama.
Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
Sebelum tarian Whirling dilakukan, seluruh jemaah melaksanakan kegiatan membaca selawat dan juga zikir bersama yang digelar setelah ibadah salat tarawih bersama.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menari atas dasar cinta, tarian Whirling bukan semata sebuah tarian, namun proses belajar melepaskan diri secara spritual dari keinginan dunia menuju kehidupan kekal. Terletak di Wisma Iskandarsyah Blok B4, Jalan Iskandarsyah Raya, Jakarta Selatan, sebuah tempat bernama Cafe Rumi menjadi salah satu wadah di mana kegiatan tarian yang berasal dari Turki itu dikembangkan.

Sepintas mendengar nama cafe, di benak kita terbayang sebuah tempat nongkrong yang dilengkapi dengan aneka menu makanan dan minuman. Namun, berbeda dengan Cafe Rumi. Menu yang ditawarkan adalah santapan rohani.

Sebagai tempat berdakwah, Cafe Rumi menyajikan berbagai menu kegiatan, di antaranya berzikir, membaca selawat, membaca kitab Alquran, berdiskusi tentang kajian Islam dan kegiatan tarian sufi Whirling.

Tarian sufi dengan khas gerakan berputar mengenakan jubah putih dan juga tutup kepala panjang merupakan proses spritual berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta Alam Semesta. Muchsin Rumi, salah satu pengurus Cafe Rumi saat ditemui di lokasi pada hari Senin, (20/6) menjelaskan, “Tutup kepala yang memanjang ke atas dalam tarian Whirling digambarkan sebuah batu nisan, sedangkan jubah putih dilambangkan sebuah kain kafan.”

Dalam ajaran tasawuf dikatakan “Matilah engkau sebelum engkau mati”. Menurut Muchsin, ajaran itu menggambarkan betapa banyak sekarang ini manusia yang hidup padahal sebenarnya mati, namun banyak juga manusia yang mati sebetulnya dia hidup.

Sebagai contoh, sekarang ini betapa banyak manusia yang hidup namun dia mati, karena tidak dia hidup tetapi tidak bermanfaat bagi kehidupan, dan cenderung memikirkan dirinya sendiri. Kebalikannya, banyak yang mati tetapi sebenarnya hidup, karena selama ini telah memberi inspirasi dan bermanfaat bagi kehidupan, sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW, beliau sudah meninggal dunia, tetapi memberi inspirasi dan bermanfaat bagi manusia sampai dengan sekarang.

“Jadi yang dimaksud matilah engkau sebelum engkau mati, bukanlah melakukan bunuh diri, tetapi mematikan keinginan, karena keinginan dapat menghancurkan diri kita, termasuk ego, dan nafsu,” kata Muchsin.

Putaran tarian Whirling adalah putaran cinta.

Gerakan berputar dalam tarian sufi Whirling menggambarkan sebuah keseimbangan atas nama rasa cinta, di mana semua kehidupan itu berputar. “Kehidupan ini semuanya berputar, tidak ada yang tidak berputar. Semua berputarnya ke kiri, baik bumi, matahari, planet, semua berputar dari arah kiri, karena itu menjadi harmonis,” kata Muchsin. Berputar secara konstan pada porosnya, menjaga keseimbangan dan memberi dengan rasa cinta kepada semua makhluk hidup.

“Dalam tarian Whirling ada gerakan di mana posisi tangan kanan berada di atas, dan tangan kiri di bawah. Hal itu digambarkan sebagai simbol, terhadap tangan kanan yang telah mendapat berkah dan rida dari Allah SWT, yang harus diberikan kepada sesama makhluk hidup dan alam semesta yang disimbolkan dari posisi tangan kiri,” kata Muchsin.

“Dulu tempat ini sempat dicap sesat, karena berbeda dalam berdakwah, terutama berzikir sambil melakukan gerakan tarian berputar,” kata Muchsin. Tarian Whirling itu bukan sebuah ibadah, tetapi memiliki nilai ibadah, jadi berzikir itu tidak selalu harus duduk atau berdiri. Dengan beraktivitas apapun jika diniatkan dengan nama Allah, itu juga memiliki nilai ibadah, ujarnya.

Tarian Whirling menjadi salah satu menu metode dakwah yang disajikan Cafe Rumi, selain kegiatan ibadah lainnya yang dilakukan, dengan tujuan mengajak masyarakat mengenal lebih dekat dan mendapat manfaat, terutama dalam proses belajar memperkaya nilai spritual.

Berdiri sejak tahun 2007, Cafe Rumi sudah banyak menelurkan bibit-bibit baru penari Whirling di berbagai daerah, khususnya di pulau Jawa dan juga Nanggroe Aceh Darussalam. Semua jemaah yang datang di tempat ini, kebanyakan kaum muda dari latar belakang yang berbeda, mulai dari pondok pesantren, pekerja kantoran, pengamen, wirausaha dan lain sebagainya. Meski dari latar belakang yang berbeda, Cafe Rumi tidak mempersoalkan sebuah perbedaan. Muchsin mengatakan, tempat ini terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang perbedaan. Belum lama, ada seorang pendeta yang datang dan ikut dalam kegiatan di tempat ini untuk belajar dan ingin tahu sebagai bahan untuk menyelesaikan tesisnya.

“Jadi tidak ada satu agama pun yang mengajarkan sebuah kebencian, semuanya mengajarkan tentang cinta. Dengan cinta kita bisa saling menghargai dan menghormati, “lakum dinukum waliyadin” yang artinya untukmu agamamu, untukku agamaku.  

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home