Mengenal Cinta dengan Tarian Whirling ala Cafe Rumi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menari atas dasar cinta, tarian Whirling bukan semata sebuah tarian, namun proses belajar melepaskan diri secara spritual dari keinginan dunia menuju kehidupan kekal. Terletak di Wisma Iskandarsyah Blok B4, Jalan Iskandarsyah Raya, Jakarta Selatan, sebuah tempat bernama Cafe Rumi menjadi salah satu wadah di mana kegiatan tarian yang berasal dari Turki itu dikembangkan.
Sepintas mendengar nama cafe, di benak kita terbayang sebuah tempat nongkrong yang dilengkapi dengan aneka menu makanan dan minuman. Namun, berbeda dengan Cafe Rumi. Menu yang ditawarkan adalah santapan rohani.
Sebagai tempat berdakwah, Cafe Rumi menyajikan berbagai menu kegiatan, di antaranya berzikir, membaca selawat, membaca kitab Alquran, berdiskusi tentang kajian Islam dan kegiatan tarian sufi Whirling.
Tarian sufi dengan khas gerakan berputar mengenakan jubah putih dan juga tutup kepala panjang merupakan proses spritual berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta Alam Semesta. Muchsin Rumi, salah satu pengurus Cafe Rumi saat ditemui di lokasi pada hari Senin, (20/6) menjelaskan, “Tutup kepala yang memanjang ke atas dalam tarian Whirling digambarkan sebuah batu nisan, sedangkan jubah putih dilambangkan sebuah kain kafan.”
Dalam ajaran tasawuf dikatakan “Matilah engkau sebelum engkau mati”. Menurut Muchsin, ajaran itu menggambarkan betapa banyak sekarang ini manusia yang hidup padahal sebenarnya mati, namun banyak juga manusia yang mati sebetulnya dia hidup.
Sebagai contoh, sekarang ini betapa banyak manusia yang hidup namun dia mati, karena tidak dia hidup tetapi tidak bermanfaat bagi kehidupan, dan cenderung memikirkan dirinya sendiri. Kebalikannya, banyak yang mati tetapi sebenarnya hidup, karena selama ini telah memberi inspirasi dan bermanfaat bagi kehidupan, sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW, beliau sudah meninggal dunia, tetapi memberi inspirasi dan bermanfaat bagi manusia sampai dengan sekarang.
“Jadi yang dimaksud matilah engkau sebelum engkau mati, bukanlah melakukan bunuh diri, tetapi mematikan keinginan, karena keinginan dapat menghancurkan diri kita, termasuk ego, dan nafsu,” kata Muchsin.
Putaran tarian Whirling adalah putaran cinta.
Gerakan berputar dalam tarian sufi Whirling menggambarkan sebuah keseimbangan atas nama rasa cinta, di mana semua kehidupan itu berputar. “Kehidupan ini semuanya berputar, tidak ada yang tidak berputar. Semua berputarnya ke kiri, baik bumi, matahari, planet, semua berputar dari arah kiri, karena itu menjadi harmonis,” kata Muchsin. Berputar secara konstan pada porosnya, menjaga keseimbangan dan memberi dengan rasa cinta kepada semua makhluk hidup.
“Dalam tarian Whirling ada gerakan di mana posisi tangan kanan berada di atas, dan tangan kiri di bawah. Hal itu digambarkan sebagai simbol, terhadap tangan kanan yang telah mendapat berkah dan rida dari Allah SWT, yang harus diberikan kepada sesama makhluk hidup dan alam semesta yang disimbolkan dari posisi tangan kiri,” kata Muchsin.
“Dulu tempat ini sempat dicap sesat, karena berbeda dalam berdakwah, terutama berzikir sambil melakukan gerakan tarian berputar,” kata Muchsin. Tarian Whirling itu bukan sebuah ibadah, tetapi memiliki nilai ibadah, jadi berzikir itu tidak selalu harus duduk atau berdiri. Dengan beraktivitas apapun jika diniatkan dengan nama Allah, itu juga memiliki nilai ibadah, ujarnya.
Tarian Whirling menjadi salah satu menu metode dakwah yang disajikan Cafe Rumi, selain kegiatan ibadah lainnya yang dilakukan, dengan tujuan mengajak masyarakat mengenal lebih dekat dan mendapat manfaat, terutama dalam proses belajar memperkaya nilai spritual.
Berdiri sejak tahun 2007, Cafe Rumi sudah banyak menelurkan bibit-bibit baru penari Whirling di berbagai daerah, khususnya di pulau Jawa dan juga Nanggroe Aceh Darussalam. Semua jemaah yang datang di tempat ini, kebanyakan kaum muda dari latar belakang yang berbeda, mulai dari pondok pesantren, pekerja kantoran, pengamen, wirausaha dan lain sebagainya. Meski dari latar belakang yang berbeda, Cafe Rumi tidak mempersoalkan sebuah perbedaan. Muchsin mengatakan, tempat ini terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang perbedaan. Belum lama, ada seorang pendeta yang datang dan ikut dalam kegiatan di tempat ini untuk belajar dan ingin tahu sebagai bahan untuk menyelesaikan tesisnya.
“Jadi tidak ada satu agama pun yang mengajarkan sebuah kebencian, semuanya mengajarkan tentang cinta. Dengan cinta kita bisa saling menghargai dan menghormati, “lakum dinukum waliyadin” yang artinya untukmu agamamu, untukku agamaku.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...