Menghargai Tradisi
Bicara soal sejarah, tak urung pula bicara soal budaya. Bicara soal budaya berarti juga bicara soal identitas.
SATUHARAPAN.COM – Lukas sungguh piawai dalam menulis. Dia teliti dan irit dalam menggunakan kata. Agaknya, dia tidak ingin menghabiskan waktu pembacanya—Teofilus, pembaca pertamanya, di masa lampau dan kita di masa kini—untuk membaca sesuatu yang tidak penting. Lukas memang bukan penulis yang suka sensasi. Dia juga tidak berminat sama sekali membumbui tulisannya agar para pembaca percaya. Tidak sama sekali.
Oleh karena itu, salah satu kunci dalam membaca dan memahami Injil Lukas ialah perhatikan baik-baik pilihan katanya! Dan kata yang hendak kita perhatikan dengan saksama ialah ”ketika”—keterangan waktu. ”Dan ketika genap waktu pentahiran” orangtua Yesus membawa Yesus yang berumur delapan hari ke Yerusalem sebagaimana tertulis dalam hukum Taurat Musa. (lih. Luk. 22:22-24).
Kelihatannya, orangtua Yesus bukanlah orang yang gemar melanggar tradisi. Meski mereka tahu bahwa anak sulung mereka bukanlah anak sembarangan, namun mereka tidak merasa perlu meminta dispensasi. Mereka bertindak sama seperti para orangtua lainnya. Yusuf dan Maria adalah pribadi yang menghargai tradisi. Mereka mengikuti tradisi karena dari situlah mereka pula berasal.
Tradisi adalah akar. Melupakan tradisi sama halnya dengan memutus diri dari sejarah kita sendiri. Dan bicara soal sejarah, adakah manusia tanpa sejarah?
Bicara soal sejarah, tak urung pula bicara soal budaya. Bicara soal budaya berarti juga bicara soal identitas. Lalu, apakah identitas kita sekarang? Atau, apakah nilai-nilai yang kita anut sekarang? Identitas memang berkait dengan nilai yang dianut.
Tanpa identitas, juga nilai-nilai, kita tak ubahnya layang-layang putus. Setiap keluarga seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak mereka memahami identitas dan nilai-nilai dalam keluarganya.
Di atas semuanya itu, Yusuf dan Maria menaati perintah agama mereka. Mereka tak merasa terpaksa. Mereka sendiri bukan orang kaya. Dari persembahan yang diberikan terlihat bahwa mereka bukan orang berada. Tetapi, di sini juga menariknya, kemiskinan tidak membuat mereka melanggar tradisi atau meminta keringanan. Mereka melakukannya karena taat.
Jika keluarga kudus begitu menghargai tradisi, dan karena itu menaatinya, bagaimana dengan kita?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...