Menjauhkan Anak dari Bibit Intoleransi
Keragaman merupakan realitas.
SATUHARAPAN.COM – Banyak di antara kita mungkin sepakat bahwa anak-anak adalah kertas putih kosong yang siap untuk ditulis. Tetapi, sadarkah kita, bahwa bukan hanya kita, orangtua, atau keluarga saja yang bisa menorehkan tinta kepada mereka?
Tahun-tahun belakangan ini, kita banyak mendengar kekerasan yang terjadi karena soal agama dan keyakinan. Kekerasan itu banyak menimpa orang beragama Islam, Kristen, aliran kepercayaan dan beberapa agama lain walaupun persentasenya kecil. Akankah anak-anak kita steril dari informasi dan berita tersebut? Saya sendiri tidak yakin. Untuk anak yang berumur kurang dari 5 tahun mungkin saja terjadi, tetapi bagi anak yang sudah ada di bangku sekolah dasar dan tingkat selanjutnya akan sangat sulit. Mereka mengenal media, bahkan dari mereka sudah menggunakan telpon pintar untuk alat komunikasi mereka.
Lalu, apa dampak berita soal kekerasan berbasis agama tersebut jika dicerna bulat-bulat oleh anak-anak kita? Akankah mereka menjadi toleran ke depan atau sebaliknya?
Ini adalah kisah anak seumuran SD yang bertanya kepada saya, ”Kenapa agama X ini jahat? Kenapa rumah ibadah agama Y ini dibakar? Kenapa mereka diusir dari kampungnya?” Belum sempat saya menjawab pertanyaannya, dia sudah menimpali ”kalau begitu, aku tidak mau berteman dengan orang agama X, aku tidak mau kenal orang agama Y.”
Saya tidak terkejut dengan kalimat itu karena begitulah anak-anak memahami apa yang dilihatnya jahat. Mereka sering kita ajar untuk menjauhi yang bersifat jahat. Dengan mencari kalimat dan kata yang mudah dicerna, saya menjelaskan bahwa kekerasan tersebut bukan karena agama yang mereka anut, tetapi cara memahami ajarannya. Dia tidak menyahut, semoga dalam umurnya dia mengerti.
Kejadian ini membawa saya jauh berpikir ke depan atas masa depan anak-anak kita, termasuk anak saya. Bagaimana saya bisa merawat toleransi dalam diri saya agar bisa terus saya ajarkan kepadanya, tanpa harus membatasinya mendapatkan informasi?
Mungkin hal ini tidak mudah, tetapi pasti bisa dilakukan. Sembari mengajarkan bagaimana kayanya Indonesia akan keberagaman, saya akan membawanya masuk dalam kelompok-kelompok yang berbeda, agar dia berjumpa realitas keberagaman tanpa harus dekat dengan kekerasan. Memahamkan dia bahwa tidak ada entitas tunggal dalam sebuah ajaran agama juga menjadi poin penting.
Tetapi, perjumpaan dan percakapan soal keberbedaan harus saya mulai sejak dini, agar dia memahami realitas, bahwa dia hidup di bangsa yang penuh dengan keberagaman dan ke depan dia harus merayakan dan menghidupi keberagaman tersebut.
Panjang umur penghargaan pada keberagaman Indonesia!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...