Mental Kekurangan vs Mental Kelimpahan
Hal terkecil dalam hidup sering kali kita anggap sewajarnya dimiliki, sehingga kita kurang bersyukur atasnya.
SATUHARAPAN.COM – ”Saya lebih senang dikira miskin daripada kaya, karena dari orang miskin tak bisa diminta dan didapat banyak, sementara kalau dianggap kaya orang akan datang untuk meminta.” Itu komentar imajinatif rekan saya yang sama sekali tidak miskin namun selalu khawatir orang akan meminta dari dirinya sehingga suatu saat ia akan kekurangan.
Sementara rekan saya yang lain berkomentar bahwa ia lebih suka dikira kaya daripada miskin, karena itu berarti ia dianggap memiliki banyak karena memberikan banyak. Rekan satu ini tak pernah takut kekurangan. Ia meyakini sepenuhnya isi doa hariannya: ”Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Dalam doa itu ia mengimani bahwa Tuhan akan tetap memelihara dengan kelengkapan secukupnya untuk esok hari. Karena tidak perlu khawatir akan kekurangan, maka berbagialah.
Dua pandangan yang sangat bertolak belakang. Rekan pertama memiliki mental kekurangan (scarcity mentality), sedangkan rekan kedua mengimani mental kelimpahan (abundance mentality). Percaya atau tidak, sering kali mereka yang merasa melarat atau ingin dianggap miskin supaya hartanya (jasmani dan rohani) utuh, malah tidak pernah menjadi kaya secara jasmani ataupun rohani, sementara mereka yang terus memberi karena meyakini dirinya tak akan pernah kekurangan, semakin menjadi kaya. Kaya jejaring, kaya pengaruh, kaya kegiatan, kaya kegembiraan dan sukacita.
Mengapa? Pemercaya scarcity mentality sudah menanggung beban kemiskinan sebelum ia sungguh-sungguh miskin: ”kalau aku gagal niscaya langit akan runtuh” dan lihatlah, ”BUM”. Ia telah mengundang langit untuk runtuh karena ketakutan gagal itu telah menjadi ganjalan untuk sukses. Ia berfokus pada kekurangannya sehingga tak mampu melihat kelebihannya. Ia mengarahkan kamera pikiran dan hatinya kepada kekurangannya sehingga kameranya tak mampu menangkap apa yang sesungguhnya sudah ia miliki.
Sementara si pemercaya abundance mentality melihat peluang tak terbatas di hadapannya: banyak kesempatan yang muncul karena pikiran dan hatinya telah meyakini kelimpahan itu memang nyata—You are what you think you are. Ia ibarat saluran yang kedua ujungnya terbuka: berkat mengalir ke dalam terus, dan aliran juga keluar dengan derasnya. Scarcity mentality sebaliknya, ia ibarat saluran yang hanya satu sisinya terbuka sehingga satu saat tak akan bisa diisi lagi.
Bagaimana memulai mental kelimpahan? Mulailah dengan menghargai apa yang dimiliki: kesehatan yang bisa digunakan untuk kerja dan melayani, rumah (meskipun kontrak) yang bisa dipakai berteduh, keluarga yang bisa dikasihi dan mengasihi (meskipun tentu ada gejolak), pekerjaan yang mengasapi dapur setiap hari.
Hal terkecil dalam hidup sering kali kita anggap sewajarnya dimiliki, sehingga kita kurang bersyukur atasnya. Karena itu, syukurilah. Mulailah hari, setiap hari, dengan doa yang mensyukuri apa yang dimiliki, dari hal terkecil bahwa Anda masih bernafas, masih diberi kesempatan berkarya. Niscaya perasaan berkelimpahan akan menguasai karena ternyata demikian banyak hal yang patut disyukuri dalam hidup ini. You are what you think you are!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...