Menteri Pendidikan Jokowi-JK Harus Berani Hadapi Pluralisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listyarti mengatakan Menteri Pendidikan pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak cukup hanya paham tentang keberagaman, tapi harus berani menghadapi pluralisme.
Menurutnya hal tersebut dilakukan sebagai salah satu langkah mewujudkan revolusi mental yang acap kali diserukan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih untuk periode 2014-2019 itu saat masa kampanye Pemilu Presiden 2014 kemarin.
"Menteri Pendidikan pada Pemerintahan Jokowi-JK tidak cukup hanya peduli pada keberagaman, tapi dia harus berani menghadapi pluralisme. Sekarang, kalau dia hanya mengerti keberagaman tapi tidak berani bertindak, ya susah juga," ucap Retno saat dijumpai satuharapan.com usai menjadi pembicara dalam diskusi publik yang diselenggarakan IndoStrategi dengan tema Desain Kabinet Trisakti, di Ruang The Only One, FX Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (9/9).
Ia mengambil contoh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Lasro Marbun, yang pernah mengeluarkan larangan penyeragaman penggunaan jilbab di sekolah negeri. "Sebenarnya kebijakan itu benar untuk diterapkan di sekolah negeri, orang mau pakai jilbab silahkan, tidak mau juga tidak apa-apa," ujar Retno.
"Tapi yang terjadi, justru Pak Lasro diserang, bahkan sampai ke Pak Ahok (Wakil Gubernur DKI Jakarta), padahal itu kebijakan Pak Lasro, orang yang paham keberagaman," Retno menambahkan.
Keberagaman Luntur
Sebelumnya, saat diskusi Retno mengutarakan bahwa sekolah negeri ialah sekolah milik pemerintah, tempat dimana anak-anak dari berbagai agama bertemu, bukan seperti madrasyah alawiah dibawah Kementerian Agama yang homogen.
"Jadi seharusnya anak-anak di sekolah negeri itu bisa menghargai keberagaman, bukan sekedar tahu tapi tidak bisa menerima dan hidup bersama dengan keberagaman itu," ucap dia.
Namun kini, Retno melihat adanya pembenturan yang dilakukan pemerintah, dimana anak-anak di sekolah seperti bersaing dengan cara tidak sehat.
"Seakan kita bukan bangsa yang sama, kalau udah masalah agama dari ujung rambut sampai kuku itu rasanya sulit sekali. Hal ini jangan disuburkan di sekolah negeri," ungkap dia.
Sosok yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 76 Jakarta itu juga menyampaikan lunturnya keberagaman di sekolah negeri semakin parah. Mono agama dan mono budaya telah terjadi, seperti pemaksaan penggunaan pakaian tertentu yang menggambarkan agama mayoritas, sudah terjadi di seluruh Indonesia.
"Kalau di Indonesia bagian timur lebih condong ke non islam, maka di Indonesia bagian barat lebih ke Islam, artinya agama mayoritas menguasai," tutur dia.
Lebih mengerikan, lanjut Retno, sikap rakidal mulai masuk. Menurutnya radikalisme bukan hanya masuk ke agama Islam, tapi ke agama non Islam juga, dan sekolah memberi ruang perkembangannya. "Bayangkan, kebangsaan dan kbhinekaan telah luntur di sekolah negeri. Contohnya, salah satu sekolah di Jakarta Timur, setiap hari Jumat pakai badge atas nama agama," ucap dia.
"Jadi kalo dia Kristen ya menggunakan badge kristen, demikian juga kalo dia agamanya Katolik, Yahudi, Konghucu, akan kelihatan karena mereka semua pakai label sesuai agamanya. Bagaimana itu, orang kok labelin?" Retno menambahkan.
Jangan Paksa Jilbab
Menurut Retno, melarang seorang anak menggunakan jilbab itu salah, tapi memaksa seorang anak menggunakan jilbab itu salah juga. Karena kesadaran itu tidak bisa dimunculkan dengan paksaan, meskipun atas nama agama atau menggunakan ayat (kitab suci, red), tapi harus dimunculkan dengan kesadaran yang akan menyentuh hatinya.
"Memaksa akan membuat dia tidak suka, hingga akhirnya dia akan gunakan itu hanya sebagai simbol," kata dia.
"Beberapa sekolah yang anak-anak Kristennya harus pakai jilbab, saat kami wawancarai mereka menurunkan derajat berjilbab itu dengan mengatakan, ah itu kan hanya pakaian saja," tambah Retno sambil meniru suara seorang anak berbicara.
Menurut dia, dengan begitu jilbab sebagai simbol agama yang diagungkan orang tertentu telah jatuh nilainya.
Retno juga menceritakan kondisi beberapa sekolah, dimana anak didiknya tidak mau menghormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Menurutnya hal itu disebabkan nilai agama yang menganggap negeri dan pemimpin Indonesia kafir.
"Ini sangat mengerikan, nilai kebangsaan akan luntur. Oleh karena itu saat Jokowi menyebut revolusi mental, saya rasa kita harus membenahi ini," jelas dia.
Perasaan Remaja Hilang
Kepala Sekolah SMA Negeri 76 Jakarta itu juga melihat anak sekolah sekarang telah kehilangan perasaan remaja, dimana mereka sudah belajar penuh dan harus mendapat nilai baik,
"Padahal tiap anak itu unik, mungkin dia jago menyanyi, bikin puisi, menulis novel, tapi pendidikan kita tidak menghargai keberagaman itu," jelas Retno.
Selain itu, ia juga menyampaikan revolusi mental harus dimulai dengan menghentikan ujian nasional sebagai penentu kelulusan.
"Kalau pemetaan boleh tapi tidak setiap tahun dan tidak diujung, sehingga setiap anak bisa merasakan perubahan dari hasil pemetaan tersebut," tutup Retno.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...