UNESCO: 175 Juta Remaja Buta Huruf
PARIS, SATUHARAPAN.COM – Direktur Jenderal United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Irina Bekova menyatakan satu dari empat remaja, sekitar 175 juta remaja di dunia, tidak mampu membaca satu kalimat pun.
Hari Literasi Internasional menurut Direktur Jenderal Organiasasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan itu merupakan sarana untuk mengingat sebuah kebenaran sederhana: melek huruf tidak hanya mengubah hidup, tapi menyelamatkan mereka.
“Fasilitas literasi (kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi) merupakan akses kepada ilmu pengetahuan dan pemicu proses pemberdayaan dan peningkatan rasa percaya diri yang menguntungkan semua orang,” kata Bokova dalam pesan menyambut Hari Literasi Internasional.
Aktivitas Hari Literasi Internasional, yang diperingati setiap 8 September, untuk tahun 2014 difokus pada hubungan antara literasi dan pembangunan berkelanjutan, yang disimbolkan dengan ajang pemberian penghargaan literasi dan konferensi literasi perempuan di Bangladesh.
Ajang ini mengingatkan kekuatan literasi yang memberdayakan orang untuk turut serta dalam perkembangan ekonomi, pembangunan sosial, dan integrasi lingkungan hidup.
"Literasi membantu mengurangi kemiskinan dan memungkinkan orang untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Ini adalah salah satu cara yang paling efisien untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, memahami resep dokter dan mendapatkan akses ke layanan kesehatan," kata Bokova.
Antara tahun 1990 dan 2009, lebih dari dua juta anak di bawah umur lima tahun berhasil diberdayakan berkat peningkatan pendidikan perempuan usia produktif.
Namun hari ini lebih 781 juta orang dewasa di dunia tidak mampu membaca, menulis atau menghitung. Dua pertiga di antaranya perempuan di negara-negara berkembang. Di negara berpenghasilan tinggi, sistem pendidikan tidak menjangkau kelompok minoritas.
Di Selandia Baru, hampir semua siswa dari keluarga kaya menerima pendidikan standar, yang dibagi terentang dari kelas 4 sampai 8, tapi hanya dua pertiga siswa dari keluarga miskin yang menerima pendidikan standar. Banyak imigran di negara maju tidak menerima pendidikan. Di Prancis, contohnya, kurang dari 60 persen imigran yang memiliki kemampuan membaca.
“Jenis masyarakat apa yang diharapkan, dengan memberikan peran pembangunan kepada pemuda buta huruf ? Ini bukan jenis dunia yang kita ingin hidup di dalamnya. Kami ingin dunia di mana setiap orang dapat berpartisipasi dalam nasib masyarakat mereka, mendapatkan akses dan memperkaya pengetahuan,” kata Bokova.
Komitmen untuk aksi ini diwujudkan menjadi konferensi Aichi-Nagoya tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan yang akan diadakan di Jepang November ini. Aksi ini akan dibahas pada Forum Pendidikan Dunia yang akan diselenggarakan tahun depan di Incheon, Korea Selatan, yang berisi diskusi global terhadap tentang tujuan pembangunan berkelanjutan yang dipresentasikan di Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 2015.
UNESCO bekerja di seluruh dunia, termasuk di Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Mesir, Nigeria, dan Senegal, untuk memastikan program literasi yang diintegrasikan ke dalam strategi pembangunan nasional.
"Kita harus berinvestasi lagi," kata Bokova, "Saya mengimbau kepada setiap negara anggota UNESCO dan semua mitra kami untuk melipatgandakan upaya politik dan keuangan, untuk memastikan bahwa program literasi sepenuhnya diakui sebagai salah satu akselerator pembangunan berkelanjutan. Masa depan yang kita inginkan dimulai dengan alfabet.
Bokova menambahkan dunia harus mengubah pendekatan tradisional dalam program literasi yang bertujuan untuk mewujudkan gaya hidup berkelanjutan, terjaganya keanekaragaman, pengurangan kemiskinan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan partisipasi masyarakat. (un.org)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...