Menyalakan Pengharapan di Tengah Duka dan Sunyi
SATUHARAPAN.COM - Pengharapan diibaratkan seperti sauh atau jangkar yang kuat yang membuat suatu perahu atau kapal tidak terombang-ambing atau larut dan hanyut dibawah gelombang kehidupan. Pengharapan ibarat membuat kokoh walau mungkin kondisi hidup seperti tembok yang nyaris roboh.
Pengharapan adalah keyakinan teguh dan ketekunan penuh walau masalah yang dihadapi menghadang dan mengempaskan kita nyaris jatuh runtuh. Harus diakui bahwa secara manusiawi keadaan duka selalu membawa perasaan yang sunyi dan sepi, bahkan hampa.
Demikian sebaliknya kesunyiaan dan kesepian menyiratkan adanya duka atau keprihatinan yang mendalam. Kesunyian dan kesepian juga lazimnya dilakukan orang yang sedang merenungi diri, tentang apa yang terjadi sambil berefleksi, mengapa semua ini terjadi? Sebuah pujian mengatakan demikian:
Saat sunyi saat sepi
Kumerenung nasib ini
Sesungguhnya hidup tak berarti
Tanpa salib Tuhan bersamaku
Sungguh aku menyesali
Akan hidupku begini
Ku abaikan kasih setiaMu
Hidup dalam dosa penuh nista
Hari ini Tuhan ku mau iring Tuhan
Memikul salibMu dengan sejuta harapan
Dunia kutinggalkan dunia kulupakan
Ku mau ikut bersamaMu Tuhan
Melalui perenungan sabtu sunyi kita mau mendalami dan memahami makna pengalaman iman pengharapan di tengah kedukaan. Kedukaan bukan akhir, melainkan awal meraih dan mendapatkan pengharapan. Kesunyian bukan segalanya dan selamanya, karena hanya merupakan jeda iman untuk mendapatkan pengharapan menjadi wujudnya secara paripurna.
Kedukaan dan Kesunyiaan
Sabtu sunyi kita rayakan karena kita meyakini bahwa sabtu sunyi merupakan masa transisi, peralihan. Suatu transisi dari peristiwa kematian Yesus Kristus sebagau Juru Selamat dari kematianNya menuju pada kebangkitanNya. Sabtu sunyi juga mengandung 2 (dua) aspek iman yaitu: antara kedukaan dan pengharapan. Aspek kedukaan karena Yesus Kristus telah mati di atas Kayu Salib karena menanggung dosa manusia yang kita peringati dalam Jumat Agung kemarin. Sedangkan aspek satunya adalah pengharapan karena esok kita akan merayakan kebangkitanNya dalam peristiwa Paska.
Sabtu sunyi adalah peringatan mengenai peristiwa dimana Yesus mati dan dikuburkan. KematianNya adalah sebagai korban pengganti untuk manusia yang ditanggungNya. Karya keselamatan Allah telah terjadi sempurna dalam kematian Kristus sebagai korban pengganti, Dia mati dan dikuburkan di perut bumi untuk menjadikan setiap orang yang percaya kepadaNya memiliki kehidupan baru.
Sabtu sunyi sering kali disebut sebagai Sabbatum sanctum yaitu sabat yang kudus. Dalam keheningan sabtu sunyi, Kristus sedang memberitakan kabar baik yaitu Injil sehingga umat yang telah dipenjarakan oleh kuasa dosa dan hukuman Allah diselamatkan (1 Petrus 3:20).
Memang dalam kesunyiaan, penderitaan dan kehampaan kerap kali manusia berada dalam keputusasaan dan kehilangan harapan. Melalui ke27:57 Menjelang malam datanglah seorang kaya, orang Arimatea, yang bernama Yusuf dan yang telah menjadi murid Yesus juga.
Pengharapan dalam kedukaan dan kesunyian itu ditampilkan dan diekspresikan oleh seorang bernama Yusuf orang Arimatea yang merupakan orang yang kaya dan telah menjadi murid Yesus. Yusuf Arimatea memiliki keberanian karena menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus. Dia tak hanya berani, melainkan peduli dan empati bahwa tanggung jawab seorang murid adalah merawat guruNya hingga kematian dan pemakamanNya. 27:58 Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus. Pilatus memerintahkan untuk menyerahkannya kepadanya.
Dalam Injil Markus dan Injil Lukas dicatat bahwa Yusuf adalah seorang anggota Majelis Besar (Bouleutes) yang terkemuka. Dia disebut sebagai seorang yang menantikan Kerajaan Allah seperti yang dijanjikan Yesus. Sebagai anggota majelis, Yusuf Arimatea tidak setuju dengan keputusan untuk menghukum Yesus, namun secara sendirian tidak dapat mengubah keputusan atas Yesus.
Dissenting opinionnya (pendapat yang berbeda) untuk menyatakan kebenaran dan pembelaanya kepada Yesus dianggap sunyi tak digubris oleh Mahkamah Agama dan Majelis besar agama para koleganya. Tindakannya dalam menguburkan Yesus dapat dimaknai sebagai penghormatan, pengharapan di tengah kedukaan dan kesunyian terakhirnya kepada Yesus Kristus yang adalah GuruNya. Sebagai murid Yesus pastilah Yusuf Arimatea mengingat dan meyakini perkataan Yesus dalam Lukas 24:46 “Mesias harus menderita, dan bangkit dari antara orang mati, pada hari yang ketiga”
Tindakan Yusuf Arimatea yang terus berjuang dalam pengharapan ditengah para koleganya yang menjatuhkan hukuman tidak adil yaitu memvonis Yesus dengan kesalahan dan menuntut hukuman mati melalui salib, tidak dilawannya secara frontal dan konfrontatif. Yusuf Arimatea memiliki cara yang berbeda yaitu cara berjuang yang konstruktif dan solutif. Bukankah pada masa kini banyak manusia modern jaman now yang berlaku brutal dan anarkis saat harapannya tidak terwujud? Mereka marah dan memaksakan kehendaknya.
Demi hidup hedonis, maka tindakan korupsi, kolusi, menyuap dilakukan tanpa malu? Bukankah pengharapan harus senantiasa diwujudkan dengan cara yang elegan, bermartabat? Tak hanya memenuhi standart etika moralitas, melainkan juga harus seturut dengan kehendak Allah yang menjamin janjiNya dan pengharapan terwujud bagi yang bersandar kepadaNya?
Menyediakan Yang Terbaik
27:59 Dan Yusufpun mengambil mayat itu, mengapaninya dengan kain lenan yang putih bersih. Lazimnya seorang yang wafat memang harus dirawat dan dimakamkan secara terhormat. Yusuf mengambil mayat Yesus Kristus dan mengapaninya dengan kain lenan yang putih bersih. Seputih dan sebersih hati Yusuf Arimatea yang mengormati dan sangat mengasihi GuruNya yaitu Yesus Kristus. 27:60 lalu membaringkannya di dalam kuburnya yang baru, yang digalinya di dalam bukit batu, dan sesudah menggulingkan sebuah batu besar ke pintu kubur itu, pergilah ia. 27:61 Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal di situ duduk di depan kubur itu. Yusuf Arimatea mempraktekan kehidupan yang berpengharapan walau dalam situasi kedukaan yang mendalam. Dalam gamang kedukaannya, Dia tetap percaya dan mengingat janji Yesus dalam firmanNya.
Dalam kisah ini juga, Yusuf Arimatea bukan saja dianggap menjadi penutup kisah pengharapan ditengah kedukaan sebagai orang yang dengan rendah hati terlibat dalam penghormatan dalam peristiwa sengsara Yesus hingga kematian dan pengguburannya. Namun kita juga diingatkan bahwa sebagai manusia kita tidak boleh hilang pengharapan, saat terpuruk ketika apa yang kita cita-citakan belum terwujud, atau mimpi kita musnah. Namun kita meyakini dalam iman dan pengharapan Kristus telah mengubah kedukaan dan kesuraman hidup menjadi pengharapan yang pasti. Bersabarlah dan bertekunlah senantiasa karena didalam Kristus kita juga mengalami kehidupan menjadi bermakna.
Pengharapan di tengah kedukaan ternyata juga ada dalam lingkaran dusta dan fitnah, hoax yang ditebarkan oleh para imam kepala dan Orang- orang Farisi yang meminta kepada Pilatus supaya Kubur Yesus dijaga. 27:62 Keesokan harinya, yaitu sesudah hari persiapan, datanglah imam-imam kepala dan orang-orang Farisi bersama-sama menghadap Pilatus, 27:63 dan mereka berkata: "Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata: Sesudah tiga hari Aku akan bangkit. 27:64 Karena itu perintahkanlah untuk menjaga kubur itu sampai hari yang ketiga; jikalau tidak, murid-murid-Nya mungkin datang untuk mencuri Dia, lalu mengatakan kepada rakyat: Ia telah bangkit dari antara orang mati, sehingga penyesatan yang terakhir akan lebih buruk akibatnya dari pada yang pertama." 27:65 Kata Pilatus kepada mereka: "Ini penjaga-penjaga bagimu, pergi dan jagalah kubur itu sebaik-baiknya." 27:66 Maka pergilah mereka dan dengan bantuan penjaga-penjaga itu mereka memeterai kubur itu dan menjaganya.
Hingga kini tuduhan, fitnahan dan hoax yang ditebarkan para musuh kebenaran tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus masih berlangsung. Iman Kristen telah ditentang dan ditantang oleh pendusta-pendusta kebenaran melalui pemutabalikan fakta. Namun apakah kita akan menyerah dalam kesunyiaan? Terpuruk dalam kepasrahan tiada pengharapan. Mari kita menelusuri pengharapan iman kita dalam cara-cara yang konstrutif (membangun), bukan destruktif (merusak).
Sebagai contoh nyata peresmian GKI Bogor Barat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota Bogor yang sebenarnya adalah GKI Yasmin, seusai penantian selama 15 Tahun membuktikan bahwa menyalakan pengharapan ditengah kesunyiaan akan membawa hasil. Dengan cara-cara yang bermartabat dan sesuai dengan kehendakNya.
Usahakan selalu pengharapan kita wujudkan dalam cara-cara memberi dan melayani Tuhan dan sesama melalui pemberian terbaik. Dan jika pengharapan dihidupi sungguh-sungguh, ada saatnya Tuhan menjadi pembela kita menegakkan pengharapan itu menjadi wujud nyata yang membuat kita bahagia dan sejahtera. Amin.
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...