Menyikapi Hasil Muktamar NU di Jombang
SATUHARAPAN.COM – Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, telah dilaksanakan. Hasilnya antara lain KH Said Aqil Siradj kembali terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sedangkan Kyai Haji Ma'ruf Amin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Rais Aam, diangkat menjadi Rais Am, karena Kyai Haji Mustofa Bisri (Gus Mus) menolak menjadi Rais Aam PBNU periode 2015-2020.
Di sisi lain, pada hari Rabu (5/8) terjadi aksi penolakan terhadap hasil Muktamar. Ratusan peserta Muktamar menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur yang diklaim sebagai "muktamar lanjutan."
Mereka menyatakan menolak hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang. Ketua Tanfidziyah PCNU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin, selaku pimpinan pertemuan itu mengungkapkan forum tersebut menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya menolak apapun hasil Muktamar Ke-33 NU.
Selain itu, mereka menggugat PBNU periode 2010-2015, karena dinilai melanggar AD/ART dan melakukan berbagai rekayasa dalam Muktamar ke-33 NU serta mengabaikan "ahlakul karimah" dalam pelaksanaan muktamar.
Masalah itu muncul terkait dengan proses pemilihan yang menggunakan cara Ahwa (ahlul halli wal aqdi), tanpa proses perubahan pada AD/ART NU lebih dulu. Dan di sisi lain tampaknya muncul masalah-masalah terkait kepentingan politik. Bahkan Pemerhati NU, Aan Anshori menilai Muktamar ini sebagai yang terberat bagi NU pascareformasi.
Tantangan bagi NU
NU sebagai Ormas keagamaan yang besar di Indonesia memang selalu menghadapi masuknya berbagai kepentingan, bahkan yang berbeda atau bertentangan dengan misi NU sendiri. Ormas dengan jumlah anggota yang banyak ini, juga selalu menghadapi masalah internal, bahkan juga masukknya kepentingan politik untuk memperoleh dukungan dan suara.
Ada kekhawatiran bahwa masalah yang muncul dari Muktamar kali ini akan menjadi benih perpecahan di tubuh NU, setidaknya melemahkan kinerja lembaga ini. Dan hal ini mengingatkan pada kejadian di Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa barat pada 1994, yang juga mengancam terjadinya perpecahan.
Pada Muktamar itu, KH Abduurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Ketua Umum PB NU dan KH Ilyas Ruhiyat terpilih sebagai Rais Am. Namun kandidat saingan Gus Dur, Abu Hassan, menolak hasil pemilihan dan berusaha membentuk kepengurusan NU yang lain. Perpecahan ini memang kemudian mereda, dan NU mampu menunjukkan organisasi yang tetap solid.
Apakah kali ini NU mampu mengatasi masalah internal mereka, terkait dengan perbedaan pendapat tengan proses dan hasil Muktamar?
NU dan Indonesia
Bagi Indonesia, NU bukan sekadar salah satu ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Peranannya sebagai lembaga yang banyak mengelola pondok pesantren ini tidak bisa diabaikan, baik semasa sebelum Indonesia merdeka, dan makin relevan pada masa sekarang, di mana ekstremisme dan radikalisme berbasis agama tengah muncul dengan keras.
Apa yang terjadi di NU akan sangat berdampak bagi kehidupan bangsa Indonesia, terutama karena kaum Nadhliyin sejauh ini dikenal sebagai organisasi yang mampu menampilkan wajak Islam yang mencintai perdamaian. Dan hal ini diakui di dunia.
Oleh karena itu, masalah yang tersisa dari Muktamar ini, memang sebaiknya dipercayakan sebagai masalah internal NU, dan dengan harapan bahwa hal itu bisa segera diselesaikan. Namun demikian, upaya-upaya yang dilakukan hendaknya bisa dilihat dari kepentingan yang lebih luas, bukan sekadar pada internal NU, tetapi juga Indonesia.
NU adalah organisasi yang telah mengalami banyak tantangan, termasuk pasca Muktamar di Cipasung, dan kita berharap NU bisa mengatasi masalah yang sekarang terjadi. Hal itu menjadi mungkin jika pengurus PB NU hasil Muktamar Jombang ini juga mendengarkan dan merangkul mereka yang bertemu di Tebuireng.
KIPMI: Vaksin Program Nasional Tidak Mengandung Babi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pembina Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia (KIPMI) dr. Ra...