Pilkada Serentak: Lebih Murah atau Murahan?
SATUHARAPAN.COM – Pemilihan kepala daearah akan diselenggarakan secara serentak pada Desember tahun ini. Dinamikanya makin tinggi pada pekan ini ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendafataran calon kepala daerah. Ada 269 kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) yang akan dipilih dalam hajatan politik ini.
Gagasan pemilian kepala daerah (Pilkada) secara serentak diawali keinginan untuk efisiensi dalam biaya pemilihan dan menekan terjadinya konflik hortizontal yang berkembang akibat sengketa dalam pemilihan di antara para kandidat.
Namun demikian, belakangan ini muncul masalah-masalah lain, termasuk munculnya hanya satu pasang kandidat kepala daerah. Sejauh ini, aturan yang ada tidak memungkinkan pemilihan hanya menampilkan satu pasang kandidat. Belum ada ketentuan bagaimana mekanisme mengatasi jika yang muncul satu pasang saja.
Apakah dalam kasus ini pemilihan pada daerah ditunda, atau calon tunggal itu dihadapkan dan bersaing dengan ‘’kotak kosong’’ seperti terjadi di beberapa daerah pada pemilihan kepala desa? Untuk mengatasi hal itu harus ada aturan baru yang harus segera diputuskan.
Namun akan segera muncul protes, sebagai konsekuensi yang sama jika pilkada ditunda. Perkembangan dalam sepekan ke depan terkait perpanjangan masa pendaftaran calon diharapkan mengatasi masalah tersebut.
BACA JUGA: |
(Tidak) Lebih Murah
Di sisi lain, ‘’transaksi’’ untuk menetapkan calon di kalangan elite politisi partai tampaknya juga makin ramai. Para kandidat tidak lepas dari beban biaya yang sering disebut sebagai dana mahar untuk mendapatkan pernyataan dan dokumen dari partai pengusul agar pencalonannya berjalan baik. Belum lagi biaya untuk merangkul partai pendukung.
Biaya bagi para calon bahkan sebenarnya telah muncul sejak awal tahun ini, ketika mereka mulai memperkenalkan diri, memasang spanduk mendeklarasikan sebagai calon kepala daerah yang baru. Spanduk seperti itu bertebaran di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada.
Melihat masalah yang muncul, tampaknya gagasan pilkada serentak akan lebih efisien kehilangan relevansinya. Dana yang dikeluarkan pemerintah saja lebih besar dari tahun lalu, sekitar tujuh triliun rupiah, dari tahun lalu sekitar empat triliun rupiah.
Politik biaya tinggi juga tampaknya tidak menjadi berkurang dengan praktik politik uang sejak pencalonan, ketika kampanye, bahkan ‘’jual-beli’’ suara. Hal ini belum dihitung dengan biaya penyelesaian konflik yang timbul, pengamanan, dan beban biaya sosial, di mana pilkada serentak tetap rawan konflik.
Fokus Pilkada
Proses pilkada adalah proses demokrasi yang didedikasikan untuk mendapatkan kepala daerah yang bisa menjalankan pemerintahan dengan didukung rakyat, dan pro kepentingan rakyat. Politik uang telah mengaburkan tujuan ini, sehingga tangga persaingan kepala daerah hanya untuk kalangan berduit. Dan hal ini terlihat dengan banyaknya petahana tampil kembali.
Dalam kancah ini, kalangan elite politik dan elite ekonomi, memang cenderung menghendaki panggung yang demikian untuk mempertahankan hegemoni. Dan politik uang telah menjadi sumber terbesar korupsi yang ditunjukkan dengan banyaknya kepala daerah dipenjarakan karena korupsi.
Masalah politik uang ini harus dihentikan. Pemerintah, parpol dan penyelenggara tampaknya terlalu lembek dengan kekuatan politik uang. Kekuatan terakhir untuk menghentikannya adalah rakyat yang fokus dengan memilih kandidat yang kredibel, berintegrasi dan kapasitasnya teruji. Tegaskan hal itu dengan berani menolak politik uang, dan abaikan kandidat yang mengandalkan uang.
Oleh karena itu, pendidikan politik yang sehat bagi pemilih harus mendapatkan prioritas. Dan hal ini juga tampaknya harus mengandalkan kekuatan masyarakat sipil. Sebab, dana pilkada dari pemerintah untuk pendidikan politik juga tidak memadai dan cenderung programnya asal-asalan.
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...