Militan Islam Moro Filipina Serahkan Senjata
MANILA, SATUHARAPAN.COM – Kelompok militan Islam Moro di Filipina selatan secara resmi dan sukarela menyerahkan puluhan senjata pada hari ini, Selasa (16/6), sebagai bagian dari kesepakatan damai tentatif, kendati menghadapi perlawanan keras dari anggota parlemen sejak baku tembak dengan pemberontak pada bulan Januari yang menewaskan puluhan polisi.
Serah terima senjata simbolis itu melibatkan perlucutan 75 senjata dan pendaftaran kembali 150 anggota Front Pembebasan Islam Moro, untuk kembali ke kehidupan sipil. Organisasi ini memiliki lebih dari 10.000 pejuang dan gudang besar persenjataan berat.
Perlucutan senjata secara lengkap belum dijadwalkan sampai Kongres merampungkan pembahasan undang-undang kesepakatan damai, yang ditandatangani pada tahun 2012. Namun para pejabat mengatakan pada hari Selasa bahwa penyerahan awal adalah sikap yang penting, terutama mengingat kenyataan bahwa pemberontak menggunakan senjata mereka untuk membela diri terhadap kelompok-kelompok bersenjata lainnya di selatan.
"Saudara-saudara kita secara sukarela meletakkan senjata mereka," kata Presiden Benigno S. Aquino III pada upacara tersebut. "Mereka sepenuhnya sadar akan ancaman terhadap keselamatan mereka sendiri dari kelompok-kelompok bersenjata, tetapi mereka tetap melakukan hal ini; mereka mengatakan kepada kami: 'Saudaraku, senjata ini yang saya gunakan untuk membela diri, saya tidak lagi membutuhkannya. Saya sepenuh hati mempercayakan keselamatan saya kepada Anda."
Kesepakatan perdamaian dengan Front Pembebasan Islam Moro meliputi kesepakatan untuk sebuah daerah otonom di daerah yang didominasi Muslim di Filipina selatan dan memberikan konsesi pajak murah dan peraturan keuangan dengan imbalan pemberontak meletakkan senjata mereka. beberapa dekade konflik antara pemerintah dan militan di selatan telah menewaskan ribuan orang dan menelantarkan lebih dari tiga juta warga.
Perjanjian tersebut berada dalam bahaya pada bulan Januari, ketika ratusan aparat Kepolisian Nasional Filipina turun ke kota kecil Mamasapano, di daerah yang dikuasai pemberontak dari Filipina selatan untuk mencari tersangka terorisme internasional. Sebuah baku tembak pun terjadi yang menewaskan 44 petugas dan puluhan pemberontak dan memicu badai sentimen negatif terhadap kesepakatan damai.
Survei pada bulan Maret oleh dua penyelenggara jajak pendapat terbesar di negara itu, Pulse Asia dan Social Weather Stations, menemukan bahwa sekitar 45 persen dari mereka yang disurvei menentang kesepakatan dan kira-kira setengah yang disurvei menyetujui. Orang-orang yang mengatakan menentang mengajukan alasan bahwa para pemberontak kurang dapat dipercaya untuk mematuhi janjinya.
Kesepakatan perdamaian ini masih menunggu disahkan oleh Senat dan DPR, ditandatangani oleh presiden dan disetujui dalam plebisit diselenggarakan di daerah-daerah yang akan jadi wilayah otonomi baru. Presiden Aquino mengatakan bahwa dia berharap kesepakatan itu sudah selesai pada saat ia mengakhiri jabatannya pada tahun 2016.
Anggota parlemen menyatakan akan memikirkan tentang persyaratan perjanjian. Beberapa senator dalam perdebatan televisi nasional menyatakan bahwa daerah otonomi baru itu nantinya akan memiliki polisi, pengadilan dan sistem pemerintahan sendiri.Namun, parlemen juga telah mengajukan draf perdamaian alternatif, yang menempatkan daerah otonom ini lebih tegas berada di bawah kendali pemerintahan pusat.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...