Miryam S Haryani Masuk DPO KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - KPK telah mengirimkan surat kepada Polri untuk memasukkan salah satu nama dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), yaitu Miryam S Haryani, tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto.
"Jadi KPK sudah memasukkan dalam DPO tersangka Miryam S Haryani (MSH), kami kirimkan surat ke Polri hari ini," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, hari Kamis (27/4).
Menurut Febri, dasar pengiriman surat untuk memasukkan Miryam dalam DPO adalah sejumlah peraturan perundang-undangan termasuk juga permintaan pada Kapolri dan jajarannya membantu untuk melakukan penangkapan terhadap yang bersangkutan.
"Jika penangkapan sudah dilakukan maka itu diserahkan ke KPK dan kami akan berkoordinasi lebih lanjut," ucap Febri.
Sebelumnya, menurut Febri, KPK sudah memberikan kesempatan kepada Miryam S Haryani untuk dipanggil secara patut.
"Kemudian diadwalkan ulang ketika pihak pengacara datang mengatakan yang bersangkutan sakit, kami jadwalkan ulang setelah ada surat keterangan dokter bahkan sampai hari ini kami belum menerima kedatangan dari tersangka," kata Febri.
Miryam S Haryani. (Foto: wikidpr.org)
Oleh karena itu, kata Febri, dalam proses penyidikan ini pihaknya memandang perlu untuk menerbitkan surat DPO untuk tersangka Miryam S Haryani dan kemudian mengirimkannya kepada pihak Polri.
"Kalau memang ada informasi-informasi dari masyarakat atau dari pihak-pihak lain terkait dengan keberadaan tersangka, itu dapat disampaikan kepada kantor Kepolisian yang terdekat karena kami hari ini sudah kirimkan surat DPO tersebut kepada Polri dan tentu kami berkoordinasi juga dengan pihak Polri terkait hal ini," tuturnya.
Penggeledahan
Sebelumnya, KPK melakukan penggeledahan di empat lokasi dalam penyidikan kasus Miryam S Haryani itu.
"Penyidik kemarin melakukan penggeledahan di empat lokasi, yaitu pertama di rumah tersangka di Tanjung Barat Indah kemudian di kantor advokat di H Tower lantai 15 Rasuna Said Kavling 20, di rumah salah satu saksi di Jalan Lontar Lenteng Agung Residence, dan rumah saksi di Jalan Semen Perum Pondok Jaya, Pondak Aren, Tangerang Selatan," kata Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, hari Rabu (26/4).
Febri menjelaskan empat tim melakukan penggeledahan tersebut dengan dilakukan secara paralel di empat lokasi itu mulai dari siang sampai malam hari dan dalam proses penggeledahan itu disita sejumlah dokumen.
"Setelah proses penggeledahan dan penyitaan tentu penyidik mempelajari terlebih dahulu dokumen-dokumen yang sudah disita tersebut terkait dengan penanganan perkara di tahap penyidikan indikasi memberikan keterangan tidak benar di pengadilan," ucap Febri.
Mantan anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Dalam persidangan pada Kamis (23/3) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP Elektronik (KTP-E).
"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.
Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.
Dalam dakwaan disebut bahwa Miryam S Haryani menerima uang 23.000 dolar AS terkait proyek sebesar Rp 5,95 triliun tersebut.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (e-KTP).
Andi disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.(Ant)
Editor : Melki Pangaribuan
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...