Mirza Adityaswara: Ekonomi RI Tidak Separah Rusia
BI tidak akan ikut-ikutan menaikkan suku bunga seperti Bank Sentral Rusia.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Rusia tengah berada dalam upaya habis-habisan untuk mempertahankan nilai tukar mata uang Rubel agar terhindar dari kemerosotan yang lebih dalam.
Harga minyak dunia yang terus turun, padahal penerimaan dari komoditas ini merupakan penyumbang terbesar pendapatan negara itu menjadi salah satu pemicu kekhawatiran investor yang menyebabkan nilai tukar Rubel terus tergerus. Selain itu sanksi dari negara-negara Barat terhadap Rusia dikarenakan krisis Ukraina telah ikut memukul nilai tukar negara tersebut.
Dalam upaya menahan pendarahan yang lebih lanjut, Bank Sentral Rusia tengah malam tadi mengumumkan langkah radikal. Mereka menaikkan suku bunga deposito dari 10,5 persen menjadi 17 persen, yang merupakan kenaikan paling tajam yang pernah terjadi sejak tahun 1998, ketika negara itu mengambil langkah-langkah drastis untuk menghindari gagal bayar utang akibat nilai tukar Rubel yang merosot.
Kemerosotan yang dialami Rubel dan tindakan radikal yang diambil oleh otoritas moneter negara tersebut telah mendatangkan spekulasi bahwa hal serupa dapat menyebar ke negara-negara lain, terutama yang mengandalkan penerimaan negara dari energi, khususnya minyak. Indonesia termasuk yang dianggap berpotensi tertular, karena penerimaan negara dari sektor energi, cukup signifikan. Dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar Rupiah termasuk yang tertekan paling dalam hingga menyentuh level paling rendah sejak tahun 1998.
Namun, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adtyaswara menepis anggapan tersebut. Menurut dia, ada perbedaan mendasar antara persoalan ekonomi yang dihadapi Rusia dan Indonesia. Perekonomian Indonesia saat ini, kata Mirza, hanya bermasalah pada pelemahan nilai tukar dan transaksi berjalan yang masih defisit. Sementara “perekonomian Rusia tertekan cukup dalam, karena berbagai faktor, yang menyebabkan mereka harus menaikkan suku bunga. Secara spesifik masalah Rusia dengan Indonesia jauh berbeda,” kata Mirza saat memberi keterangan kepada para pewarta, termasuk satuharapan.com, pada Selasa (16/12) di Graha Sawala, Kompleks Kementerian Koordinator Perekonomian, Jl. Dr.Wahidin, Lapangan Banteng, Jakarta.
“Apa yang terjadi di Rusia itu bukan hanya karena harga minyak dunia yang turun, tapi karena politik internasional yang ada masalah dengan Ukraina, sehinga Rusia mengalami tekanan capital outflow, lalu pemerintahnya melakukan intervensi,” kata Mirza
Ia menambahkan, awalnya tekanan terhadap Rubel terjadi karena masalah politik internasional. Sejak saat itu pasar Rusia mengalami tekanan. Aliran modal keluar (capital outflow) yang terjadi di Rusia, mau tidak mau mengharuskan bank sentralnya melakukan intervensi demi menghindari kemerosotan Rubel lebih parah. Pada saat yang sama, harga minyak dunia turun yang kemudian mengakibatkan penerimaan Rusia juga menurun.
Mirza menggarisbawahi bahwa penerimaan negara Rusia sangat mengandalkan pendapatan dari minyak. Inilah yang menyebabkan negara tersebut tertekan.
Mirza yakin pelemahan Rupiah saat ini bersifat sementara. Saat ini, lanjut dia, BI mengambil sejumlah langkah, diantara aktif di pasar valas (valuta asing) dan pasar Surat Berharga Negara (SBN) untuk stabilisasi. Terkait dengan tingginya suku bunga yang ditetapkan Bank Sentral Rusia, menurut dia, BI tidak latah dan ikut-ikutan menaikkan suku bunga.
Mirza mengatakan, mata uang negara lain juga melemah terutama yang memiliki permasalahan inflasi, defisit transaksi berjalan dan utang luar negeri swasta. Oleh karenanya, negara yang masih punya problem defisit transaksi berjalan, inflasi, serta utang luar negeri, harus disiplin mengendalikan hal-hal tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo mengemukakan BI terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah agar dampak penguatan dolar terhadap Rupiah berada dalam ranah yang terkendali.
"Yang sudah dilakukan, kita terus berada di pasar memantau dan malakukan intervensi di pasar valas agar pergerakan Rupiah sejalan dengan fundamental dan tetap terjaga," kata Perry. Menurut Perry, dengan semakin besarnya tekanan terhadap Rupiah, intensitas intervensi yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga semakin meningkat.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...