Mudji Sutrisno: Komunitas Lima Gunung, Oasis Budaya yang Hilang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komunitas Lima Gunung (KLG) mengadakan acara diskusi terkait kebudayaan yang diusung oleh KLG dalam 12 tahun terakhir ini dengan menggelar agenda budaya tahunan secara mandiri dengan nama Festival Lima Gunung. Romo Mudji, seorang rohaniwan dan budayawan, turut hadir dalam diskusi tersebut dan berkomentar bahwa, “Komunitas Lima Gunung merupakan oasis atau sumber kebudayaan yang hilang.”
“Mereka merawat kehidupan. Kesenian tidak mungkin tumbuh dan muncul tanpa terkait dengan kehidupan. Kehidupan tersebut adalah alam sekitarnya,” kata dia kepada reporter satuharapan.com, Rabu (18/12).
Dia juga menyatakan bahwa orang-orang urban seperti masyarakat lima gunung ketika dibawa ke Jakarta akhirnya menyadari bahwa masyarakat di kota besar mengalami dua keterasingan, yaitu keterasingan dengan sumber dan apa yang dimakan dan keterasingan sumber makna hidup.
“Dengan diskusi Komunitas Lima Gunung, kita diingatkan kembali siapa diri kita. Apalagi dalam keindonesiaan. Keindonesiaan adalah kemajemukan yang saling merawat dan mengikat,” tambahnya.
Menurut Romo Mudji, di jaman modern seperti ini, Indonesia terbagi menjadi tiga generasi yaitu generasi lisan seperti dialog atau percakapan, generasi tulis dan generasi digital. Tugas kita semua dalam menjembatani tiga generasi tersebut adalah dengan membuat jaringan dan menumbuhkan kembali serawung (berdialog) tentang norma kehidupan. Yang dapat menyatukan tiga generasi itu adalah tradisi.
Tradisi lima gunung ini betul-betul terekat dengan alam, diluar dari kotak-kotak pendidikan yang harus dihidupkan karena tujuannya adalah supaya kita tidak terasing dengan kehidupan, sementara kita berada dalam kehidupan.
Tradisi dan Nilai Agama
Terkait dengan bagaimana menyikapi tradisi dengan nilai agama, Romo Mudji menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami yang inti dari religiusitas atau keimanan, dan mengasingkan diri dengan menyatakan bahwa agama yang ia anut adalah yang paling benar, pada saat itulah rasa keimanan sudah mati.
Seseorang akan merasa terasing dari sumbernya karena religi itu sumbernya menghayati, mensyukuri dan memuliakan kehidupan. Sama halnya dengan seni yang menunjukkan siapa kita sebenarnya. Ekspresi perasaan rasa syukur dan kegembiraan bisa diungkapkan melalui seni.
Agama tidak akan masuk ke hati manusia tanpa melalui budaya. Contohnya adalah Van Lith dan NU yang mempelajari tradisi untuk menyebarkan apa yang mereka anut yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat setempat.
Hubungan agama terhadap kebudayaan adalah setiap manusia harus menjadi manusiawi dulu sebelum mengaku agamawan. Walaupun Tuhan menciptakan setiap manusia berbeda, namun, Ia menginginkan kita untuk menerima setiap perbedaan yang ada.
Jika dengan perbedaan tersebut manusia saling mengkritik dan menjatuhkan, maka telah terjadi krisis saling percaya.
Yang menjadi tujuan utama dari agama adalah untuk menghidupi kehidupan dan saling mengasihi. Dalam hal ini, seni bukan membatasi seseorang untuk beragama ataupun sebaliknya. Namun, seni dalam hal ini berperan sebagai ekspresi kebahagiaan.
Diskusi Komunitas Lima Gunung yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta pada Rabu (18/12) ini dihadiri oleh beberapa budayawan seperti Romo Mudji Sutrisno, Nungki Kusumastuti dan beberapa seniman lainnya.
Editor : Bayu Probo
Wapres Lihat Bayi Bernama Gibran di Pengungsian Erupsi Lewot...
FLORES TIMUR, SATUHARAPAN.COM - Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka mengunjungi seorang b...