Musdah Mulia: Beragama Harus Rasional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Siti Musdah Mulia, berbicara tentang dinamika demokrasi Indonesia akhir-akhir ini. Menurut Musdah, masyarakat yang menolak Lurah Lenteng Agung telah melanggar prinsip demokrasi. Ia juga berbicara tentang bahayanya sikap diam masyarakat moderat.
Penerima Yap Thiam Hien Award 2008 ini saat diwawancarai satuharapan.com tengah mendiskusikan berbagai data untuk menyusun Indeks Demokrasi Indonesia. Ia mengatakan selama empat tahun keikutsertaannya menjadi anggota panel ahli Indeks Demokrasi Indonesia, demokrasi perlu dikonsolidasikan lagi. Berbagai kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini memperburuk indeks, katanya. Berapi-api ia mengomentari beberapa kasus.
Satuharapan.com: Tentang penolakan beberapa warga terhadap Susan Jasmine Zulkifli, Lurah Lenteng Agung, bagaimana komentar Anda?
Musdah: Tidak ada dalam konstitusi kita, jika setiap pejabat harus dipertanyakan agamanya. Itu tidak benar. Bagi saya, yang harus dipertanyakan ke pejabat itu adalah kapabilitasnya. Apakah pemilihannya sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku? Jika sesuai, ya kita harus terima.
Satuharapan.com: Namun, bukankah protes warga itu bagian dari dinamika berdemokrasi?
Musdah: Bukan begitu. Itu berarti mereka tidak paham tentang demokrasi. Mereka telah melanggar prinsip demokrasi. Beberapa orang selalu berpikir bahwa dalam demokrasi, orang bebas berpendapat. Itu salah. Kebebasan berpendapat, harus ada koridornya. Kebebasan berpendapat harus dalam batas menyuarakan pikiran-pikiran yang demokratis.
Kebebasan berpendapat tidak bisa untuk menyuarakan pikiran-pikiran anarkis. Orang boleh berpendapat tetapi tidak boleh mengganggu hak orang lain. Misalnya, saya orang yang beragama. Saya wajib sholat. Tetapi jika sholat di tengah jalan, saya harus ditangkap polisi. Apakah saya boleh protes kepada polisi dengan mengatakan kebebasan saya beragama telah hilang. Itu salah. Itu berarti saya telah melanggar hak orang lain.
Satuharapan.com: Jadi, dalam berdemokrasi ada pembatasannya?
Musdah: Kebebasan beragama dijamin dalam demokrasi. Tetapi, implementasi kebebasan itu harus mempertimbangkan public order, public moral, public safety, dan tidak melanggar hak orang lain. Tidak ada kebebasan tanpa batas. Jadi, jika kita berkata semaunya, bertindak seenaknya, berarti tidak mengerti apa itu demokrasi.
Satuharapan.com: Mengapa orang-orang moderat yang katanya lebih banyak daripada para fundamentalis, suaranya seperti tenggelam?
Musdah: Kelompok menengah kita yang moderat, berada di posisi yang tidak mau mengambil risiko. Silent majority. Ini adalah salah satu bencana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Berbahaya, karena mereka tidak mau ambil risiko dan bergerak.
Karena mereka cenderung memikirkan diri sendiri dan tidak mau ambil risiko, ruang publik kita dibajak kelompok-kelompok vokal yang sebenarnya sedikit. Apa bukti mereka sedikit? Partai-partai Islam, pemilihnya sedikit.
Karena mereka diam, wacana jadi tidak berimbang. Media juga berat sebelah. Jika FPI yang melakukan kegiatan, media membicarakan. Tetapi upaya-upaya ICRP misalnya, tidak pernah dicover media karena tidak seksi. Itu repotnya prinsip bad news is good news.
Satuharapan.com: Dengan kiprah selama ini, bagaimana tanggapan Anda terhadap berbagai ancaman?
Musdah: Sepanjang tidak menyerang secara fisik, saya tidak peduli. Ancaman telepon, sms, e-mail yang memaki-maki habis sering saya terima. Saya tidak membalas mereka. Saya tidak ingin ikut-ikutan gila. Saya hanya berkonsentrasi untuk terus membangun hal-hal yang saya yakini selama ini.
Banyak risiko yang saya dapatkan. Termasuk tidak diterima di beberapa kalangan. Di kampus saya dianggap sebagai dosen yang kritis. Beberapa mahasiswa juga ada yang mencaci, namun argumentasi mereka runtuh saat berhadapan dengan saya. Biasanya argumen mereka dilandasi emosi. Saya selalu tekankan pada mahasiswa saya untuk bersikap kritis, bukan hanya menghafal.
Satuharapan.com: Mengapa harus kritis?
Musdah: Sebab, beragama harus rasional. Sebab jika beragama tidak rasional, segala macam tafsir yang tidak masuk akal dicekokkan ke kita, kita diam saja. Ini penting sekali, bahwa beragama harus menggunakan nalar sehat. Bagi saya, tidak ada agama yang bertentangan dengan akal sehat.
Misal, ada yang mengatakan harus ikhlas poligami. Kalau gak poligami tidak bisa masuk surga. Ajaran-ajaran semacam itu harus dicerna dengan nalar kritis.
Satuharapan.com: Berdasarkan peran Anda di proyek penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia, apa komentar Anda?
Musdah: Perlu ada konsolidasi demokrasi. Sebab, demokrasi di Indonesia makin tidak jelas. Tujuan demokrasi adalah menuju masyarakat yang adil dan sejahtera, dan makmur. Jika, masyarakat kita miskin, koruptor tetap merajalela, tidak ada transparansi, berarti demokrasi kita ada yang salah.
Utusan AS: Akhir Perang Israel dan Hizbullah ‘Dalam Gengga...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Utusan Amerika Serikat, Amos Hochstein, mengatakan pada hari Selasa (19/11) ...