Muslim di AS Ikut Merayakan Natal
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Satu atau dua generasi yang lalu, ketika warga Muslim di Amerika sebagai imigran baru, dan kelompok lebih kecil daripada keadaan sekarang, lampu, pohon, lagu-lagu, hadian dan semangat perayaan Natal, dipandang oleh kebanyakan Muslim sebagai ancaman atas iman Islam anak-anak mereka.
Namun kondisi sekarang telah berubah. Sekarang semakin banyak umat Islam yang ikut merayakan Natal, atau setidaknya ikut berpartisipasi, seperti menghiasi rumah mereka dengan pohon-pohon dan pertunjukan cahaya. Banyak keluarga Muslim telah menciptakan tradisi Natal yang unik bagi mereka sendiri.
"Saya mengajarkan tiga anak-anak saya yang bersekolah di sekolah umum dan kebetulan lahir dalam keluarga Kristen dan Muslim, bahwa kita benar-benar merayakan Natal karena kita adalah Muslim," kata Hannah Hawks dari Houston menulis dalam email-nya.
Daripada memasang pohon atau lampu, "kita merayakan untuk alasan musim ini, Yesus, dengan mempelajari semua yang ada tertulis tentang Dia dalam Quran dan dengan memeriksa teori-teori sejarah,” kata dia.
Hawks juga memberikan bantuan untuk amal, membantu tetangga, mengundang mereka untuk makan malam, termasuk memberikan teman-teman, dan guru kartu ucapan "Merry Christmas" atau menyampaikan melalui telepon.
Anak-anak Hawk bersama-sama dengan teman-teman Kristen juga berbagi aktivtas untuk Natal.. Tahun ini, mereka akan memainkan lagu-lagu Natal dengan memainkan biola, viola, terompet, cello, dan lonceng di sebuah rumah sakit masyarakat setempat untuk pasien yang tengah dalam pemulihan dari operasi.
Masih Dikritik
Namun, yang pasti, beberapa pemimpin Muslim masih mengkritik ikut perayaan Natal sebagai asimilasi yang terlalu jauh.
Imam Muzammil Siddiqi, mantan presiden Masyarakat Islam Amerika Utara, telah menyatakan bahwa umat Islam tidak harus merayakan Natal, karena merupakan libur memperingati kelahiran seorang tokoh yang dihormati oleh orang Kristen sebagai Anak Allah adalah melanggar ajaran Islam.
"Kita harus memberitahu anak-anak kita bahwa kita adalah Muslim dan ini bukan liburan kami," kata Siddiqi dalam komentar yang diposting di website OnIslam.net. "Ini adalah hari libur tetangga Kristen dan teman-teman kami. "
Untuk melindungi anak-anak mereka dari daya tarik Natal, kata dia, orangtua Muslim harus mengambil bagian dalam kegiatan kamp Islam dan konferensi yang diselenggarakan pada tahun ini karena alasan tersebut.
Generasi Baru
Namun demikian, generasi baru Muslim yang lahir atau dibesarkan di Amerika Serikat yang merasa cukup aman untuk melihat Natal sebagai tradisi lain mereka dapat berhubungan dan merayakannya dalam berbagai cara , seperti halnya yang dilakukan tetangga Kristen mereka.
"Muslim harus bergabung dengan tetangga Kristen mereka untuk merayakan Natal," kata Rizwan Kadir, seorang penasihat keuangan yang aktif dalam komunitas Muslim di pinggiran kota Chicago. "Kami juga percaya pada Isa," tambah Kadir, "dan Dia memiliki tempat yang sangat istimewa dalam Islam."
Sementara Muslim tidak percaya Yesus disalibkan atau bahwa Dia adalah bagian dari Tritunggal Ketuhanan, mereka percaya pada Dia dilahirkan dari seorang perawan, dan mengklaim Yesus sebagai nabi, pendahulu Muhammad, yang naik ke surga, dan akan kembali sebagai bagian dari kedatanganNya yang kedua.
Kadir menambahkan bahwa umat Islam tidak harus mundur dari perayaan Natal. Keluarganya tidak memasang pohon atau lampu Natal, tapi Kadir tidak pergi untuk liburan pesta di tempat kerja, dan berkeinginan menyampaikan kepada teman-teman dan tetangga "Selamat Natal.”
"Bagi saya, hal itu menyenangkan dilakukan bersama orang sekitar tahun ini," kata Kadir. "Itu tidak membuat Anda menjadi seorang Kristen. Ini tidak berarti Anda mengorbankan iman Anda."
Saling Menghormati
Pandangan itu, bagaimanapun, telah berkembang oleh waktu. Zeyna Ahmed, dengan putrinya Nadyah Abdul Majid (13 tahun), Hadyah Abdul Majid (11 tahun) menyukai beberapa hal tentang Natal. Dia kelahiran Amerika dari orangtua Mesir dan ingat bahwa ibunya menyukai beberapa aspek dari Natal, meskipun ayahnya tidak.
"Cara mereka berpegang pada warisan mereka mendorong segala sesuatu yang juga dilakukan Muslim," kata Ahmed yang tinggal di Easton.
Ketika keempat anaknya mulai bertanya mengapa keluarganya tidak merayakan Natal, dia merasa tidak cukup untuk mengatakan, “karena kita Muslim," karena "kami juga percaya kepada Yesus," kata Ahmed.
Jadi, selama tujuh tahun terakhir, Ahmed, yang bercerai, merayakan Natal dengan pohon, lampu, dan juga memberikan amal. Dia juga mendapat masakah khas menorah untuk perayaan Hanukkah (Yahudi) pada malam terakhir.
"Saya ingin mengekspos pada mereka untuk tradisi yang berbeda," kata Ahmed, mengacu pada anak-anaknya. "Saya merasa jika Anda menghormati liburan mereka, mereka akan menghormati liburan kami. Hal ini mengembangkan rasa saling menghormati."
Soal Sosial
Hawks setuju. "Natal, seperti Ramadhan, adalah jembatan antar agama yang sempurna untuk persekutuan Muslim - Kristen," tulisnya. "Keduanya adalah waktu yang sempurna untuk menjaga relasi antaragama, berdoa bersama untuk perdamaian, dan berjanji untuk menegakkan pesan Tuhan untuk menyebarkan kebaikan dan menjangkau, serta membantu mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat kita."
Imam Talal Eid dari Quincy, Massacusset, mantan anggota Komisi Amerika Serikat tentang Kebebasan Beragama Internasional, mengutip ayat 13 dari pasal 49 Al Quran, yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan "masyarakat dan suku-suku agar mereka saling mengenal satu sama lain.
Dan dia menambahkan, pada saat beberapa orang Kristen dan Yahudi di Amerika berpuasa dalam solidaritas dengan umat Islam selama bulan suci Ramadhan, umat Islam harus membalas.
"Ini bukan tentang rincian teologis," kata Eid. "Ini adalah masalah persekutuan dan kegiatan sosial. Tidak ada yang salah dengan bertukar hadiah dan berpartisipasi.” (religionnews.com)
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...