Myanmar: Tidak Ada Toleransi bagi Kebencian Etnis
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Menteri Luar Negeri Myanmar, Wunna Maung Lwin, mengatakan bahwa di bawah pemerintahan Presiden U Thein Sein pihaknya akan menerapkan pendekatan zerotolerance (tidak ada toleransi) kepada siapapun yang memicu kebencian etnis.
Dia mengatakan hal itu dalam sisdang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, Hari Senin (30/9) di markas besar PBB di New York.
“Kami tidak akan membiarkan siapa pun untuk mengambil keuntungan dari keterbukaan politik dengan menghasut kekerasan di kalangan masyarakat karena perbedaan etnis atau agama,” kata dia dalam pidato mewakili pemerintah Myanmar.
Belakangan ini Myanmar mendapatkan sorotan dunia dan lembaga-lembaga yang menaruh perhatian pada hak asasi manusia berkaitan dengan kekerasan yang terjadi terhadap kelompok etnis Rohingya yang beragama Islam.
Bentrokan antara warga mayoritas umat Buddha dan Muslim di Myanmar telah menewaskan sedikitnya 237 orang dan menyebabkan lebih dari 150.000 orang mengungsi sejak Juni 2012.
Kekerasan etnis dan sectarian mengancam reformasi politik dan ekonomi yang tengah diluncurkan negeri itu dalam dua tahun sejak pemerintah dikuasai sipil menggantikan pemerintah militer sebelumnya.
Dialog Antar Iman
Menlu mengatakan, Myanmar adalah negara multi-rasial dan multi-agama. Penduduk di sana menganut agama Buddha, Kristen, Muslim dan Hindu. Konstitusi Negara itu juga menyebutkan empat agama tersebut sebagai agama resmi yang diakui negara.
Namun, kata dia, “Selalu ada orang yang ingin mengganggu ketenangan. Kami tidak akan membiarkan siapa pun untuk mengambil keuntungan dari keterbukaan politik untuk menghasut kekerasan di kalangan masyarakat etnis atau agama yang berbeda.”
Pemerintah, kata dia, akan bekerja sama dengan PBB dan organisasi kemanusiaan LSM , untuk meningkatkan kondisi kehidupan dan mata pencaharian semua masyarakat yang terkena dampak tanpa diskriminasi.
Pemerintah juga mendorong dialog antar-iman di seluruh negeri dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kepercayaan di antara komunitas yang berbeda, dan mempromosikan perlindungan hak asasi manusia.
Proses reformasi di negeri itu, kata dia, masih pada tahap baru lahir dan sensitif terhadap sedikit saja kesalahan. Dengan pemikiran perlu bagi semua orang untuk menahan diri dari melakukan sesuatu yang bisa membahayakan transisi damai di Myanmar. (un.org)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...