Nasaruddin Umar: Dialog Antar Iman Penting untuk Menciptakan Kedamaian
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Agama dipandang sebagai sebuah nilai humanisme. Oleh karena itu, agama-agama yang ada di Indonesia perlu untuk membangun kekuatan yang menyatukan, bukan memecah belah. Demikian dikatakan Wakil Menteri Agama, Nasarudin Umar, Selasa (23/4) di Jakarta.
Dia menyampaikan hal itu dalam makalah Bridging The World: Interfaith Dialogue in Developing Religious Harmony and Peace. (Menjembatani Dunia: Dialog Antar Iman dana Membangun Agama yang Harmoni dan Damai) pada acara International Conference On Islam, Civilization and Peace (Konferensi Internasional Islam,Peradaban, dan Damai).
“Dalam kaitannya dengan nilai-nilai humanisme dan praktik ibadah, kita hendaknya mempraktikkan kekuatan agama sebagai sebuah kekuatan sentripental atau yang menyatukan, bukannya sentrifugal yang memecah-belah,” ujar Nasaruddin. Bagaimanapun juga agama menjadi alasan utama konflik sosial dan bersifat sensitif, namun agama harus tetap dipelihara sebagai kekuatan yang menyatukan.
Nasarudin menambahkan bahwa dialog antar iman adalah media paling efektif dalam mencegah konflik horizontal. Awalnya membutuhkan kesepakatan dan kesepahaman bersama,dan dilandasi itikad baik demi perdamaian.
“Satu-satunya usaha untuk mencegah konflik antar agama adalah dialog antar iman. Langkah awalnya adalah memahami satu sama lain dan juga adanya kesepakatan bersama, kemudian antar kepercayaan tersebut harus melihat kemungkinan bekerja bersama. Kalau sudah demikian bagaimana memupuk dialog antar iman, karena dalam dialog itu unsur-unsur masyarakat harus bisa membatasi keterlibatan agamanya sendiri apabila dirasa terlalu dominan,” ujar Wakil Menteri Agama ini.
Acara tersebut diselenggarakan sebagai kerja sama antara Kementerian Agama Republik Indonesia dan Kementerian Wakaf, Urusan Islam dan Tempat Suci Kerajaan Yordania. Nasarudin menekankan empat bentuk dialog yang paling mendasar yang dapat dilakukan berbagai umat manusia di segala penjuru tempat, yakni dialog tentang hidup, dialog dalam dunia kerja, dialog teologis, dialog pakar agama.
“Dialog tentang hidup merupakan aspek paling dasar dalam kehidupan dan bertujuan bagi semua manusia, karena pada dasarnya kehidupan sehari-hari, terutama dalam masyarakat plural, dialog merupakan jembatan utama. Berikutnya adalah dialog dalam kerja, ini berarti ada sebuah intensitas tinggi dan kerja sama yang lebih serius antar pemeluk umat beragama, yang ketiga adalah dialog teologis. Ini tidak hanya berlaku bagi para ahli tetapi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk melakukannya,” kata Nasarudin.
“Bagaimanapun juga karena dialog teologis ini mencakup isu aktual teologis yang cukup rumit, maka biasanya dilakukan antar pemuka agama. Sedangkan dialog untuk para pakar agama, atau yang lazim disebut dialog pengalaman spiritual, mencakup dialog pada tataran tertinggi. Dialog yang terakhir ini bertujuan memperkaya dan mengasah apresiasi terhadap nilai-nilai spiritual dari setiap orang,” tambahnya.
Wakil Menteri Agama menambahkan bahwa dialog antar iman dalam praktiknya membutuhkan wawasan yang lebih luas dan keseimbangan, dan menghindari fanatisme sempit. Dialog tidak membutuhkan kajian penyamarataan atau penyeragaman. Dengan kata lain, dialog antar iman tidak punya maksud dan keharusan untuk menyeragamkan doktrin agama-agama yang terlibat dalam dialog.
“Selain itu, dialog antar iman membutuhkan pandangan-pandangan yang lebih serius, antara lain dialog membutuhkan keseimbangan sikap, dialog membutuhkan stabilitas dan meredam semangat antikeberagaman.”
Kementerian Agama mengapresiasi bahwa saat ini tidak hanya pemerintah saja yang bergerak, kata Nasarudin, untuk membina harmonisasi kerukunan umat beragama. Akan tetapi beberapa organisasi keagamaan lainnya turut memberi andil atas kerukunan ini di Indonesia, antara lain Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi), beserta beberapa organisasi non pemerintah lainnya.
Wakil Menteri Agama tak lupa menyampaikan bahwa Islam tak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang sungguh-sungguh mengecam bentuk pengekangan Hak Asasi Manusia. Islam sepenuhnya menolak fanatisme, radikalisme dan terorisme. Hal termudah yang dapat dilihat adalah saat seseorang melakukan dosa besar, maka ia tak lagi beriman kepada Tuhan.
“Sehari-hari dapat kita menjumpai di sekitar kita bahwa ada jarak antara ajaran agama dan realitas sosial yang ada. Wajar bila ada banyak orang berkepribadian ganda atau memiliki pemahaman yang sempit dalam kehidupan beragama, sehingga banyak kemunafikan di zaman sekarang,” kata Wakil Menteri Agama.
Editor : Sabar Subekti
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...