Wamenag: Kalau Semua Pemeluk Agama Menghayati Agamanya, Kekerasan Tidak Akan Terjadi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Agama (Kemenag) RI bekerjasama dengan Kementerian Urusan Islam dan Wakaf Kerajaan Yordania pada 23-24 April 2013 menyelenggarakan International Conference on Islam, Civilization, and Peace di Jakarta (23/4). Konferensi ini ingin mengubah padangan negatif kepada umat muslim terkait masalah teroris yang terjadi belakangan ini.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Nasaruddin Umar menyatakan kalau semua pemeluk agama menghayati agamanya, kekerasan tidak akan terjadi. Hal itu dikatakan ketika menyampaikan pandangannya sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut di Hotel Borobudur Jakarta (23/4).
Seperti diambil dari situs resmi Kemenag, Nasaruddin menyatakan pendapatnya dalam kaitan dengan bom Boston, dimana Pelaku beranggapan dengan terorisme bisa menanggulangi apa yang yang mereka resahkan selama ini. Bahwa banyak dalam Alqur’an ayat yang bisa dikutip, yang menyatakan bahwa apapun etniknya, apapun agamanya, selama anak cucu Adam, wajib umat Islam untuk menghormati mereka. Sikap toleransi, menurut Nasaruddin juga dikedepankan Nabi Muhammad SAW ketika merumuskan sejumlah ketentuan dalam perjanjian Hudaibiyah.
Nasaruddin mengungkapkan ada sejumlah pihak yang menyalahartikan sejumlah ayat dalam Al-Quran yang bisa memicu konflik, salah satunya oleh seorang murtad (orang yang keluar dari Agama Islam) padahal orang tersebut seorang Profesor lulusan dari Al-Azhar. Orang tersebut menggunakan nama samaran Gabriel yang mengatakan yang teroris itu Qur’an, bukan orang Islam. Orang tersebut mengutip ayat Al-Quran yang dipotong dan dikeluarkan dari konteksnya. " Berbahaya sekali kalau memahami ayat Al-Quran tanpa memahami penyebab turunnya (asbabunnuzul) dan asbabul wurud sebuah hadist", ujar Nasaruddin.
Selanjutnya dalam uraiannya, jika ada persoalan konseptual yang harus diselesaikan dalam diri umat Islam. Menurutnya, perkembangan sejarah keagamaan tidak selalu mulus dengan sejarah ilmu pengetahuan. Setiap enam abad terjadi pergumulan ilmu dan agama. Abad 6 Sebelum Masehi sampai 1 Masehi dimenangkan ilmu fisalafat, hal ini ditandai lahirnya sejumlah filosof seperti Plato, Aristoteles dan sebagainya dan tidak melahirkan tokoh atau ilmuwan agama yang mumpuni. Abad pertama yang ditandai kelahiran Nabi Isa AS sampai abad 6 adalah kemenangan agama yang ditandai lahirnya Nabi Muhammad SAW. Abad 6 hingga abad 12 adalah puncak peradaban dunia ditandai yang dengan kelahiran nabi Muhammad SAW, saat itu bersanding ilmu pengatahuan dan agama.
Abad 12 sampai dengan 18 ditandai berbaliknya unsur peradaban jahiliyah, dan abad 18 hingga sekarang adalah abad kegersangan. Akibatnya ilmu menjadi kering, dan Barat menjajah Islam hanya memperkenalkan ilmu dan tidak menerangkan ma’rifah. Pengetahuan yang dengan nalar kita sebut ilmu dan yang dengan batin kita sebut dengan hikmah. "Agama yang bisa aktual dengan ilmu di masa depan adalah yang bisa bersanding antara ilmu dan agama" terang Nasaruddin.
Lebih lanjut Nasaruddin menyampaikan, bahwa kalau kita bicara agama, sepertinya kualitatif, sementara persoalan agama sangat kuantatif (angka). Kita sering kali bicara agama seperti deduktif, padahal realitasnya sangat induktif. Untuk itu "Jangan ada jarak antara agama dengan pemeluknya", ujar Nasaruddin.
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...