Natal adalah Tragedi
Baik Maria dan Yusuf punya alasan kuat untuk lari.
SATUHARAPAN.COM â Tragedi artinya peristiwa fatal yang menyedihkan. Sesuatu yang hitam dan muram. Di dalamnya tidak ada kegembiraan. Mereka yang berada di sekitar tragedi, sulit untuk menari, tertawa atau menyanyi.
Natal Kristus sejatinya adalah tragedi. Bayangkan saja! Maria dan Yusuf baru bertunangan. Mereka belum jadi suami isteri. Tiba-tiba Maria mengandung seorang bayi (Mat. 1:18). Masyarakat pasti menghakimi: mereka berzina! Bagi orang Yahudi, hukuman bagi pezina jelas dan pasti: rajam sampai mati.
Tragedi belum berhenti. Ketika mengetahui Maria mengandung, Yusuf bermaksud meninggalkan Maria secara diam-diam (ay.19). Malaikat melarangnya untuk lari. Yusuf diminta untuk menanggung tragedi.
Baik Maria dan Yusuf punya alasan kuat untuk lari. Tragedi yang perlu mereka pikul melampaui nalar dan kekuatan manusiawi. Menanggung malu karena cibiran, menahan tangis karena tuduhan. Dan ini yang menakutkan:Â dirajam sampai mati karena sesuatu yang tidak mereka lakukan.
Mereka berdua punya alasan untuk lari dari tregedi. Akan tetapi, ini yang kemudian mereka lakukan. Maria memikul tragedi sebab ia tahu siapa dirinya: hamba Tuhan. Sebagai hamba, ia dengan tulus berkata, âJadilah padaku menurut perkataanmu ituâ (Luk 1:38). Yusuf juga begitu. Ia berbuat persis seperti yang malaikat pesankan: mengambil Maria menjadi isteri dan tidak bersetubuh dengan Maria sampai ia melahirkan (lih. Mat. 1:24-25).
Natal Kristus sejatinya adalah tragedi. Bukan hanya untuk Yusuf dan Maria. Tetapi, untuk Kristus juga. Bayangkan saja. Ia, yang adalah Allah, berkenan dibatasi karena harus berinkarnasi. Ia juga akan menderita karena direndahkan dan dianiaya oleh manusia. Sesungguhnya, Ia punya alasan untuk berhenti, menolak untuk ikut narasi tragedi: Yang Maha Suci tidak perlu menjadi manusia dan mengalami derita.
Yusuf, Maria, dan Kristus tidak berhenti. Mereka tidak lari dari tragedi. Mereka menjalaninya dengan taat. Mungkin juga dengan gembira. Dalam iman mereka tahu, tragedi itu sejatinya titik temu bumi dan sorga. Kerapuhan manusia bertemu dengan kekuasaan Allah. Dalam kehidupannya yang lemah, ada Allah yang menyertai. Dimaknai seperti itu, tragedi menjadi berwajah ganda. Ia cerah dan menggembirakan. Tetapi, keceriaan itu terjadi karena ada orang yang siap berkurban menghidupi narasi tragedi.
Persoalan besar negeri ini, salah satunya, disebabkan karena masyarakat Indonesia hanya menghendaki berkat Tuhan, tanpa siap berkurban menjadi alat Tuhan. Orang beragama hanya mencari pahala, tanpa siap menjadi alat-Nya yang menghadirkan pahala untuk sesama. Banyak umat beragama yang mau disertai Tuhan, tanpa menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedikit yang seperti Yusuf dan Maria, menanggung resiko memikul tragedi, agar terbuka jalan bagi kehadiran Ilahi.
Sebagian (besar?) Pengikut Kristus juga punya kecenderungan yang sama. Dalam merayakan Natal Kristus, banyak yang lupa, sebelum malaikat bersuka cita karena kelahiran-Nya, tragedi menghampiri Yusuf dan Maria. Mereka menangis sebelum tertawa. Penyertaan Allah melalui bayi Kristus, didahului kesadaran diri kalau mereka berdua adalah hamba-Nya, yang rapuh dan lemah.
Maka, agar Natal Kristus benar-benar mendatangkan suka cita, kita perlu lebih dulu menyadari siapa kita yang lemah, rapuh dan berdosa.
Semoga masa Adven telah kita jalani dalam kesungguhan, sehingga kita menjadi palungan, tempat di mana kehinaan dan kemuliaan bertemu, kelemahan dan kekuatan berjumpa, bumi dan sorga bercumbu.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...