Natal Kristus: Peacefull Feeling
Berkait dengan damai, setiap orang memiliki cerita—entah pahit, entah manis. Dan semuanya itu autentik.
SATUHARAPAN.COM – Hari ini umat Kristen merayakan Natal Kristus sebagai peristiwa kelahiran Raja Damai. Berkait dengan damai, setiap orang memiliki cerita—entah pahit, entah manis. Dan semuanya itu autentik.
Jika mendengarkan cerita-cerita itu, kita harus akui sering merasa tidak nyaman dengan sikap istri, anak, tetangga, dan bahkan orang-orang dalam komunitas kita. Tentu, kita tak senang dengan perselisihan, namun itulah yang terjadi.
Kita kadang tak puas jika lawan kita belum takluk. Kekalahan lawan menentukan jati diri kita. Bahkan, seseorang dikatakan memiliki harga diri ketika orang lain sujud menyembahnya. Tanpa jabatan dan status sosial seseorang seolah kehilangan kemanusiaannya. Jadi, jati diri seseorang sangat ditentukan ”orang luar”. Sesungguhnya, itu jugalah yang menjadi perasaan raja-raja dunia sebelum zaman pencerahan (aufklarung).
Kita bersyukur, jauh sebelum zaman pencerahan, tradisi iman Yahudi telah terbiasa dengan suara hati yang berbeda dengan suara hati Raja-raja Israel dan Yehuda. Paling tidak itulah yang kita baca dalam Alkitab mengenai tradisi iman para nabi: Allah bukanlah Raja yang suka meniadakan umat-Nya yang menjadi seteru-Nya, melainkan Pribadi yang suka mendamaikan diri-Nya dengan seteru-Nya. Ia memang membenci dosa manusia dan menghukum. Tetapi, kebencian-Nya itu tidak pernah menjadi kebenaran-Nya untuk meniadakan umat-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut: Raja Damai.
Kabar Allah sebagai Raja Damai mendekonstruksi mentalitas raja-raja yang suka menindas, mengalahkan, dan meniadakan bangsa lain. Dia adalah Allah yang memiliki hati untuk selalu mendamaikan diri-Nya dengan pihak-pihak yang memusuhi-Nya—dengan cara mengosongkan hati dari kemarahan untuk mempertahankan status keilahian-Nya dan menjadi Sang Imanuel. Dan itulah Natal.
Kita patut bertanya: apa yang harus kita lakukan agar kabar kelahiran Raja Damai itu bukan kabar angin dari langit/para malaikat—seperti dikatakan Peter Berger—melainkan kabar sukacita yang menjadi peristiwa di dalam hati dan pikiran kita? Pada titik ini kita perlu berseru dalam doa: ”Ya, Kristus, Raja Damai, datanglah dan tinggallah dalam hati kami!” Intinya: memohon kedamaian. Kedamaian merupakan mata air kehidupan yang akan mampu mengubah penderitaan menjadi kebahagian.
Itu tidak berarti hati yang damai tidak mengenal air mata. Tidak. Hati yang damai tetap mengenal air mata; tetapi hati yang damai akan memampukan kita melihat hari depan yang baru dalam setiap peristiwa yang dialami.
Seruan itu juga akan membentuk sikap hati kita untuk berdamai, baik dengan diri sendiri maupun orang lain. Seruan itu akan membuat hati kita peacefull feeling dalam situasi sesulit apa pun. Hati yang peacefull feeling bukanlah pasifisme naif, tetapi menunjuk pada sikap hati tanpa rasa takut apa pun karena percaya bahwa dalam Kristus kita aman dalam situasi apa pun.
Natal Kristus: peacefull feeling!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...