Negara Absen Ketika Intoleransi Berlangsung
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pluralisme menjadi isu yang belakangan ini semakin santer berhembus di Yogyakarta. Isu pluralisme yang salah satunya dikemas dengan bungkus toleransi tersebut menuai antitesis, yaitu intoleransi. Peristiwa intoleransi yang kembali mencuat di Yogyakarta, entah berhubungan dengan pemilihan presiden atau tidak, nyata-nyata telah membuat trademark Yogyakarta sebagai The City of Tolerance kini mulai dipertanyakan.
Salah satu kasus intoleransi terakhir yang terjadi di Yogyakarta sehingga mendapat sorotan adalah kasus penyerangan Direktur Galang Press, Julius Felicianus yang sedang menggelar doa Rosario di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman pada 29 Mei 2014. Kasus tersebut cukup mendapat perhatian, bahkan memantik Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X berstatement untuk memerangi segala bentuk intoleransi.
Berpijak dari beberapa peristiwa yang mengancam tersemainya pluralisme di Yogyakarta tersebut, Yayasan DIAN Interfidei menggelar diskusi bertajuk Indonesia: Pluralism in Perill “The rise of religious intolerance across the archipelago”. Diskusi yang digelar pada Selasa (10/6) di Kantor Dian Interfidei yang beralamat di Jalan Banteng Utama No. 59, Perum Banteng Baru, Kabupaten Sleman, Yogyakarta ini membahas tentang penelitian, dengan judul yang sama seperti tajuk diskusi, yang dilakukan oleh Benedict Rogers, seorang peneliti dari Christian Solidarity Worldwide (CSW).
Dalam penelitian tersebut, Benedict berkunjung ke berbagai daerah konflik yang tersebar di Indonesia, seperti kasus GKI Yasmin di Bogor, HKBP Filadelfia di Bekasi, Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan Syiah di Sampang. Dalam perjalanan tersebut, Benedict mencoba untuk memotret penyebab terjadinya intoleransi, akibat dari intoleransi, hingga peran negara di dalam penyelesaian kasus intoleransi tersebut. Dari penelitian tersebut, Benedict menyimpulkan 5 faktor yang menyebabkan bangkitnya intoleransi.
"Penyebaran ideologi ekstremis, didorong dan didanai oleh sumber-sumber di luar Indonesia (terutama Arab Saudi, Yaman dan bagian lain di Timur Tengah, dan Pakistan) serta organisasi domestik, melalui pendidikan, dakwah dan penyebaran sastra melalui pamflet penerbitan dan buku, DVD, dan CD, dan melalui internet.
"Kelambanan dan kadang-kadang keterlibatan pemerintah daerah, provinsi dan nasional, termasuk keterlibatan aktif oleh para menteri senior pemerintah yang telah membuat pernyataan yang berkontribusi terhadap intoleransi.
"Pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang diskriminatif.
"Kelemahan dalam hal penegakan hukum di pihak polisi dan kehakiman, dalam kasus di mana agama minoritas menjadi korban membutuhkan perlindungan dan keadilan.
"Keengganan pada bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia, untuk berbicara menentang intoleransi,” papar Benedict.
Dari kelima faktor tersebut, hal yang paling disoroti Benedict adalah absennya negara ketika intoleransi berlangsung, sehingga bahaya kekerasan terus menerus menjadi ancaman yang serius. Bahkan Benedict menemukan kasus bahwa polisi tidak berdaya, bahkan cenderung membiarkan ketika kekerasan sedang berlangsung. “The absence of the government is a trigger for increasing violence,” kata Benedict menilai kinerja dari negara.
Padahal, menurut Benedict, dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila secara jelas telah memberikan ruang untuk pluralisme. Bahkan akar dari pluralisme di Indonesia telah terbentuk lewat tradisi yang panjang.
“Indonesia memiliki tradisi panjang pluralisme, kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan kerukunan antar umat beragama, dan dihormati secara luas di seluruh dunia untuk transisi sukses dari pemerintahan otoriter menuju demokrasi,” kata Benedict, Ketua CSW wilayah Asia Tenggara.
Kenyataan di atas berbanding terbalik dengan situasi intoleransi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Padahal, menurut Benedict, hal tersebut sebenarnya bertentangan dengan paham negara Indonesia yang menganut sistem Bhinneka Tunggal Ika, atau “Unity in Diversity”.
Oleh karena itu, Benedict mencoba untuk memberikan masukan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan nyata dalam hal memerangi intoleransi. Benedict juga menggarisbawah pernyataannya terkait dengan pemimpin masa depan Indonesia, yaitu memilih pemimpin yang peduli dan memberikan langkah konkret dalam mengatasi persoalan intoleransi.
“Sangat penting isu-isu kebebasan berpikir, hati nurani dan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UDHR (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia) diperhatikan dengan sungguh sebelum calon presiden masuk dalam pemerintahan. Sangat penting bahwa presiden baru dan pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah arah, bergerak menjauh dari intoleransi dan kembali ke akar-akarnya dan mendirikan nilai-nilai sebagai bangsa yang majemuk,” kata Benedict.
Di akhir diskusi, Benedict menyampaikan 25 rekomensi kepada pemerintah Indonesia. Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain:
- Melindungi tradisi pluralisme beragama sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
- Melakukan investigasi secara tuntas terhadap kekerasan yang mengatasnamakan kebebasan beragama, termasuk kekerasan dalam hal penyerangan dan kampanye intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap agama-agama minoritas dan mengadili para pelaku kekerasan.
Memastikan pengakuan, perlindungan, dan hak yang setara bagi seluruh agama dan kepercayaan, sebagaimana tertuang dalam pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, termasuk yang di luar dari 6 agama yang telah diakui oleh negara.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...