Negara-negara Pasifik Pendukung Referendum Papua Bertambah
HONOLULU, SATUHARAPAN.COM - Para diplomat Indonesia tampaknya belum dapat tidur nyenyak. Gerakan yang menyuarakan penentuan nasib sendiri Papua belakangan ini menggeliat lagi.
Setelah sempat melemah pasca tertahannya permohonan United Liberation Movement for West Papua (UMWP) untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG), gerakan ini mencoba bangkit. Kali ini melalui apa yang disebut sebagai Pacific Coalition for West Papua (PCWP) atau Koalisi Pasifik untuk Papua Barat.
Menurut siaran pers dari sekretariat pers PM Kepulauan Solomon, PCWP yang diprakarsai oleh PM negara tersebut, Manasye Sogavare, yang juga ketua MSG (Melanesian Spearhead Group), terbentuk beberapa bulan lalu di Honiara, ibukota Kepulauan Solomon. PCWP terbentuk pasca terhentinya ULMWP bergabung ke MSG.
Menurut penjelasan resmi Sogavare, PCWP bertujuan untuk menggalang dukungan negara-negara Pasifik untuk menyerukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melakukan intervensi atas pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri bagi Papua. Anggota awal PCWP terdiri dari Pemerintah Kepulauan Solomon, Pemerintah Vanuatu, kelompok Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste(FLNKS), ULMWP dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasifik, Pacific Islands Association Non Govermental Organization (PIANGO).
Dalam pertemuan mereka di Aloha, Honolulu, pada hari Jumat lalu (2/9), dukungan terhadap koalisi ini bertambah dengan bergabungnya dua negara Pasifik lain, yaitu Pemerintah Tuvalu dan Republik Nauru. Kedua negara ini masing-masing diwakili oleh Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga dan Duta Besar Nauru untuk PBB, Marlene Moses.
Tidak hanya dua negara ini yang memberikan dukungan. Dua pihak lain juga sudah menunjukkan dukungan, ketika inisiatif ini diperkenalkan di Honiara. Keduanya adalah Kerajaan Tonga dan Republik Kepulauan Marshall. Dukungan kedua negara ini juga telah terkonfirmasi pada Jumat lalu (2/9) dengan kehadiran Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pohiva dan Menteri Pekerjaan Umum Republik Kepulauan Marshall, David Paul.
Pada pertemuan di Aloha itu, semua anggota PCWP hadir, kecuali Republik Vanuatu yang tidak mengirimkan wakil. Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF) --sebuah forum negara-negara Pasifik lain yang keanggotaannya lebih luas dan akan bertemu pekan ini -- Dame Meg Taylor, turut pula hadir pada pertemuan tersebut.
Pada pertemuan itu, Sogavere berpidato dan mengatakan negara-negara Pasifik memiliki tugas mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Papua, sebagai kerabat terdekat. Dia kembali menekankan bahwa referendum atau ‘menentukan nasib sendiri' adalah hak Papua, yang sejak 50 tahun terakhir telah dituntut. Hak itu, kata dia, juga merupakan prinsip dasar Piagam PBB.
Ia menekankan bahwa tujuan dari PCWP benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi, dan semua negara PBB harus mematuhi dan melindunginya.
Di bagian lain, Sogavare mengakui apa yang diinisiasi oleh PCWP bukan tugas yang mudah. Bangsa-bangsa di Pasifik, kata dia, memerlukan pendekatan kolaboratif dan strategis untuk mengantisipasi masalah yang akan datang. “Hanya dengan bekerja secara strategis dan bersama-sama, kita bisa menangani masalah di Papua Barat,” tuturnya.
Menunggu Respon Presiden Joko Widodo
Sekjen PIF, Dame Taylor, ketika mendapat kesempatan berbicara pada pertemuan itu. mengatakan bahwa pada pertemuan puncak PIF ke-46 di Port Moresby pada tahun 2015, telah diputuskan untuk mengirim tim pencari fakta ke Papua. Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia menganggap istilah ‘pencari fakta’ terkesan ofensif.
Dame Taylor mengatakan sampai saat ini pihaknya masih menunggu respon dari Presiden Joko Widodo atas rekomendasi PIF. Ia mengatakan sudah bertemu dengan Ketua PIF yaitu PM Papua Nugini, Peter O’Neil dan juga dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo. Proses sedang berjalan untuk memenuhi resolusi PIF, kata dia, dan ia mengharapkan Ketua PIF dan presiden Joko Widodo akan bertemu.
Sementara itu, Sekjen ULMWP, Octovianus Mote mengklaim bahwa ULMWP mewakili gerakan kemerdekaan Papua dan akan terus mengejar hak-hak rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri dan semua hak-hak lainya yang tercantum dalam Piagam PBB.
Perdana Menteri Sapoaga dari Tucalu mengatakan negaranya menghargai dan bersimpati sepenuhnya dengan aspirasi dan keinginan rakyat Papua untuk mempunyai hak otonomi sendiri.
Sementara Menteri Republik Kepulauan Marshall mengatakan negaranya melihat masalah Papua dari perspektif kemanusiaan dan masalah kemanusiaan berada di garis depan mereka.
Perwakilan dari FLNKS, Rodrigue Tiavouane, mengatakan bahwa FLNKS mendukung penuh inisiatif PCWP dan strategi yang akan dilaksanakan.
Ia menambahkan bahwa FLNKS juga melalui proses yang sama dalam ‘penentuan hak otonom sendiri’ dimulai dari bergabung dengan MSG lalu ke PIF dan akhinya ke Komite 24 PBB (Komite Khusus Dekolonisasi).
Perdana Menteri Pohiva dari Tonga mengatakan adalah kewajiban moral untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua dengan adanya seruan ‘penentuan nasib sendiri’.
Dia mengatakan pada Sidang Umum PBB ke-70 tahun lalu, ia berbicara tentang tujuan dan pertanggung jawaban pemerintah atas semua hal yang tidak mungkin terwujud tanpa dukungan penuh kepada HAM di daerah konflik di seluruh dunia termasuk di Kepulauan Pasifik.
Sementara itu Duta dari Tuvalu mengatakan adalah penting bahwa masalah Papua akan dibawa ke Komite 24 PBB. Namun ia juga mengatakan apa yang berhasil untuk beberapa orang tidak selalu berhasil pada orang lain.
Anggota PIANGO dari Tonga, Drew Havea mengatakan PIANGO mengakui penderitaan yang dialami rakyat Papua adalah juga penderitaan Pasifik dan mendesak para pemimpin Pasifik untuk bersepakat menghentikan kekerasan di Papua dan selanjutnya menemukan jalur damai ‘menentukan nasib sendiri’. (kav)
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...