Nia, Biarawati Muda Kalbar Melawan Hegemoni Kelapa Sawit
MARAU, KALBAR, SATUHARAPAN.COM - Indonesia dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Sebuah perkiraan mengatakan kapasitas produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 31,10 juta ton per tahun. Tahun 2020 diprakirakan produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 40 juta ton per tahun.
Pemerintah pun mengistimewakan komoditas ini, karena dianggap sebagai salah satu andalan ekspor penghasil devisa. Di antaranya dengan mendirikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), yang berencana mengucurkan dana Rp 2,5 triliun untuk menjalankan program peremajaan kembali (replanting) 100.000 hektare lahan perkebunan milik petani sawit.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah berkembang dua kali lipat dari hanya 4 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 8 juta hektar dewasa ini. Pada tahun 2020, luas perkebunan kelapa sawit di Tanah Air diperkirakan akan meningkat menjadi 13 juta hektar.
Perusahaan-perusahaan raksasa umumnya mengendalikan produksi kelapa sawit. Individu perusahaan-perusahaan teratas, diperkirakan memproduksi setengah dari total produksi kelapa sawit di Indonesia. Hegemoni perusahaan-perusahaan raksasa ini tidak terbantahkan, di tengah lemahnya peran perkebunan kelapa sawit negara, apalagi kebun milik rakyat.
Di tengah hegemoni itu, seorang biarawati muda dari Kongregasi Gembala Baik yang bermukim di Marau, Kalimantan Barat, menyuarakan perlawanan dan keprihatinan. Biarawati itu bernama Suster Theresia Kurniawati RGS, yang kini bertugas sebagai kepala di Asrama Putri Bina Remaja Bunda Pengasih Marau. Sehari-hari ia akrab dipanggil Nia.
Perlawanan dan keprihatinannya berangkat dari kondisi masyarakat tempat dimana ia melayani. Ia mengaku prihatin dengan kerusakan alam yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit dapat berdampak luas. Salah satunya adalah terenggutnya hak perempuan akan air.
Menurut Nia, 41 tahun, salah satu keistimewaan tradisi dalam suku Dayak adalah tidak begitu dibedakannya perempuan dan pria dalam menempuh pendidikan. "Kalau anak laki-laki bisa sekolah, anak perempuan juga bisa sekolah. Bahkan, kadang-kadang anak perempuan ini di dalam kebudayaan Dayak diperlakukan lebih istimewa," tegas dia.
“Anak perempuan bisa jadi anak kesayangan. Orang sini jarang punya banyak anak. Paling satu atau dua. Buat mereka anak adalah 'kekasih saya' atau yang paling dicintai. Secara budaya pun, kalau anak perempuan dilecehkan maka akan ada denda adat,” tutur dia, dalam keterangan tertulisnya yang diterima oleh satuharapan.com.
Masalahnya kini, dengan penanaman kelapa sawit secara masif di Kalimantan, runtuhnya hak anak perempuan untuk mendapatkan air yang cukup semakin jelas di pelupuk mata.
"Perempuan dimanapun butuh air. Sedangkan tanah di Kalimantan masif ditanami sawit yang notabene menyedot banyak air. Orang sudah tidak punya air lagi. Itu yang tidak disadari orang," kata dia.
Secara khusus ia menyoroti hak perempuan terhadap air karena ia menilai perempuan lebih membutuhkan air. “Air bagi perempuan bukan saja sangat penting, tetapi lebih dari itu. Kalau tidak ada air, begitu susahnya kami para perempun. Itu yang orang nggak kepikir. Perempuan hidup nggak mungkin nggak ada air. Laki-laki mungkin bisa bertahan sehari tidak pakai air, kalau perempuan tidak bisa," tutur perempuan yang berlatar belakang akademis kebidanan ini.
Kerusakan alam Kalimantan ini, menurut dia, pelan-pelan "merenggut hak perempuan" untuk tetap sehat dan untuk tetap menjaga kelangsungan hidup.
Menolong Perempuan Pedalaman
Sementara ia menyuarakan keprihatinannya tentang air, Nia juga bertindak dengan terjun memberikan perlindungan kepada perempuan Dayak di Marau. Di antaranya adalah mencegah human trafficking yang dipicu oleh kemiskinan.
"Kemiskinan ada karena pendidikannya kurang diperhatikan," kata dia.
Maka kini ia menampung anak-anak perempuan pedalaman yang menempuh pendidikan di Marau. Anak-anak perempuan pedalaman diberi fasilitas agar bisa mendapatkan tempat yang aman dan nyaman untuk mengisi kekosongan yang tidak didapat di sekolah.
“Mentang-mentang kita di pedalaman, tidak ada yang mau memperhatikan,” keluhnya merujuk pada Dinas Pendidikan Ketapang yang menurutnya masih belum pro pendidikan anak-anak pedalaman.
“Kalau ada salah satu dari anak perempuan ini gagal, kita akan kehilangan satu orang pemimpin. Misalkan ada yang hamil muda dan harus melahirkan dalam usia muda lalu kesulitan melahirkan dan meninggal itu artinya kami kehilangan satu orang ibu yang hebat di masa depan,” tandasnya.
Tugasnya kini menampung anak-anak dari pedalaman yang tidak punya akses pendidikan untuk sekolah dan memberikan tempat yang aman dan nyaman untuk mereka.
Ia berharap ke depan anak-anak perempuan harus memiliki peran penting untuk memutus mata rantai kemiskinan, kejahatan, kekerasan dan diskriminasi antar generasi.
"Bila pemenuhan hak-hak mereka berjalan sesuai harapan, anak perempuan berpotensi menjadi agen penting dalam perubahan dunia," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...