Nila Riwut: Lanjutkan Perjuangan karena Prinsip Benar
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM Nila Riwut, putri pahlawan Tjilik Riwut, menyampaikan bahwa warisan yang terpenting dari para pahlawan yang harus dilanjutkan adalah sikap pantang menyerah sampai titik darah penghabisan karena prinsip yang benar. Nila Riwut mengemukakan hal itu kepada satuharapan.com, Minggu (10/11).
Ia memaknai Hari Pahlawan tahun ini sebagai saat yang tepat untuk mengevaluasi diri untuk apa yang telah diberikan para pahlawan bagi bangsa dan negara, bukan apa yang dilakukan demi mendapatkan materi atau menumpuk harta kekayaan. Dengan merenungkan kembali perjuangan para pahlawan dan para pendahulu yang berperang dengan gagah perkasa serta tulus ikhlas mempersembahkan jiwa raga bagi negara, nusa dan bangsa, diharapkan timbul rasa malu bilamana generasi sekarang mengelola negara dengan cara yang salah.
Pengalaman paling mengesankan baginya bersama sang ayah, adalah ketika turut merasakan 'proses' keberhasilan ayahnya mengajak, menggiring, bahkan mengarahkannya untuk mampu melanjutkan tugasnya terutama dalam bidang tulis menulis. Tjilik Riwut gemar mencatat segala pengalaman dan segala apa yang ia ketahui tentang budaya leluhur. Pekerjaan itulah yang hingga sekarang digeluti Nila Riwut yang kini bermukim di Yogyakarta.
Pada mulanya tak sedikit pun Nila tertarik pada kegiatan tulis menulis dan budaya. Ia bahkan merasa bosan dan tidak suka. Namun, Tjilik Riwut piawai mengarahkan dengan penuh kesabaran, yang akhirnya mampu membuat Nila jatuh cinta dan dengan tulus ihklas melanjutkan perjuangan dalam bidang tulis menulis sejarah dan budaya suku Dayak.
Putra Dayak
Tjilik Riwut adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia dan pernah menjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Ia lahir di Kasongan, 2 Februari 1918 dan meninggal dunia di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada usia 69 tahun. Tjilik Riwut selalu bangga menyatakan diri sebagai "orang hutan" karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan. Ia pencinta alam sejati, juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu, dan rakit.
Tjilik Riwut adalah putra Dayak yang menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Perjuangannya dalam masa kemerdekaan melampaui batas-batas kesukuan, yang kemudian menjadikannya salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan pada masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan Tengah.
Setelah menuntut ilmu di Pulau Jawa, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja dibentuk, namun ia tidak ikut terjun. Nama-nama yang terjun merebut Kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi. Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas itu. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
Selain itu, Tjilik Riwut berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU dan diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.
Tjilik Riwut cukup berjasa bagi masuknya Pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putra Dayak, ia mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat di hadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.
Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar Pulau Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Ia pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagai anggota DPR RI.
Keterampilan dalam menulis diasahnya semasa bergabung dengan Sanusi Pane di Harian Pembangunan. Tjilik Riwut telah menulis sejumlah buku mengenai Kalimantan: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965,stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), Kalimantan Membangun (1979).
Ia meninggal setelah dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Namanya kini diabadikan untuk salah satu bandar udara dan jalan utama di Palangka Raya.
Editor : Sotyati
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...