Obituari: Sang Teladan itu Telah Mengakhiri Perjuangannya
SATUHARAPAN.COM – Senin, 27 Mei 2013, Pdt (em.) Broto Semedi Wiryotenojo, STh., akhirnya berpulang ke rumah Bapa yang dikasihinya pada usia 84 tahun. Kepergian “Mbah Broto”, begitu almarhum biasa dipanggil, membuat gereja-gereja Kristen Jawa kembali kehilangan salah satu putera terbaiknya.
Mbah Broto bukan saja dikenal sebagai salah seorang pionir pemikiran teologis yang berbobot di tanah air, tetapi juga pejuang sejati dalam mempertahankan ide dan pikirannya. Ia misalnya tak segan mengirim surat kepada Presiden Soeharto saat berkuasa untuk menghentikan operasi “Petrus” (penembakan misterius).
Alasannya sangat fundamental: sejahat apapun manusia, ia tetap makhluk yang diciptakan Tuhan dan karenanya memiliki hak untuk hidup. Menghilangkan nyawa manusia (apalagi dengan sengaja) adalah tindakan biadab yang melawan kehendak Tuhan. Pemerintah sebagai pelaksana keputusan bersama masyarakat semestinya melindungi seluruh warga negara, bukan malah menculik dan menghabisi warga, meskipun warga itu telah berbuat jahat dan meresahkan warga lain. Seharusnya pemerintah mampu menggunakan mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan dengan elegan dan tidak dengan jalan pintas menghabisi mereka yang dianggap bersalah.
Akibat dari keberaniannya itu, risiko silih berganti menyapa kehidupan Mbah Broto beserta keluarganya. Dari berkali-kali mendapatkan kiriman paket jenasah di depan pintu rumah maupun intimidasi yang lain. Semua itu tidak menyurutkan tekad beliau untuk terus berjuang dengan caranya. Konsistensi adalah salah satu sikap yang perlu diteladani oleh generasi sekarang ini.
Ajaran dan teladan untuk gereja dari Mbah Broto juga sangat berpengaruh. Tidak bisa dipungkiri bahwa PPA (Pokok-Pokok Ajaran) GKJ yang sekarag ini menjadi pegangan GKJ, sebagian besar adalah buah pemikiran Mbah Broto. Keberanian untuk membuat ajaran gereja sendiri, berdasarkan konteks pergumulan konkret, merupakan “Pelita Hidup” dalam perjalanan sejarah gereja-gereja Kristen Jawa.
Sikap hidup yang konsisten dengan apa yang dipikirkan merupakan warisan spiritualitas Mbah Broto. Ia misalnya tidak kersa ambil bagian dalam sakramen perjamuan kudus, karena merasa gagal membimbing dan mendidik anak. Ia juga tegas dalam menegor dan menentang segala hal yang menurutnya tidak benar. Itu semua merupakan warisan berharga bagi gereja-gereja di masa sekarang.
Almarhum Pdt (em.) Broto Semedi adalah tokoh yang memegang teguh prinsip hidupnya. Sampai kepergiannya, ia adalah pendeta GKJ yang tidak mau menggunakan toga sebagai pakaian liturgis. Alasannya, toga adalah pakaian cerdik pandai dalam tradisi keilmuan di Roma, sementara pendeta bukan hanya cerdik pandai tetapi pemimpin rohani umat Tuhan.
Wilujeng tindak Mbah!
Editor: Trisno S. Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...