OJK Pertimbangkan Buat Peraturan Terkait Cyber Crime
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan untuk membuat peraturan terkait kejahatan dunia maya atau cyber crime demi melindungi lembaga jasa keuangan.
"Kalau memang perlu akan kami keluarkan peraturannya. OJK masih harus meminta pendapat dari banyak pihak, terutama pelaku industri keuangan," ujar Ketua Dewan Audit yang juga anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti, usai sebuah diskusi bertajuk "Cyber Security: Opportunities and Challenges", di Gedung OJK, Jakarta, hari Selasa (29/3).
Menurut Ilya, OJK akan bertindak cepat untuk memutuskan apakah regulasi yang kuat dari otoritas keuangan perlu diadakan atau tidak.
Setidaknya OJK memproyeksikan pembicaraan ke arah penerbitan peraturan itu bisa selesai secepatnya, setidaknya dalam satu tahun.
"Sekali lagi, itu semua tergantung apakah dianggap cukup mendesak atau tidak. Untuk memutuskannya, kami mengadakan forum diskusi dengan pemangku kepentingan jasa keuangan dalam beberapa waktu ke depan untuk mendapatkan apa saja yang menjadi keinginan pelaku usaha terkait tindakan kriminal dunia maya," kata Ilya.
Dia melanjutkan, OJK sudah beberapa kali menerima laporan dari pihak lembaga jasa keuangan (LJK), terutama perbankan yang menjadi korban cyber crime.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, OJK masih berperan sebagai mediator karena biasanya berkaitan dengan kerugian nasabah.
"Biasanya yang melapor itu jumlah kerugiannya tidak besar, jadi bisa diselesaikan dengan mediasi," kata Ilya lagi.
Cyber Crime Tinggi
Menurut survei yang dilakukan perusahaan konsultan internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) bertajuk Global State of Information Security Survey pada 127 negara sepanjang tahun 2015 menyebutkan bahwa serangan dunia maya (cyber attack) terjadi rata-rata 160.000 kali per hari atau sekitar 60 juta serangan per tahun.
Direktur Asuransi dan Risiko Asuransi PwC Indonesia Handikin Setiawan mengatakan jumlah itu meningkat setidaknya 40 persen dibandingan tahun-tahun sebelumnya.
"Ini masih yang dipublikasikan, belum termasuk yang tidak diketahui," kata Handikin lagi.
Dia menambahkan kejahatan cyber ini merupakan sebuah keniscayaan di tengah perkembangan teknologi informasi yang kian masif.
Perusahaan dan individu pun harus siap diserang kapan saja, termasuk sektor industri keuangan.
"Tentu akan berdampak sangat besar terhadap industri," ujar Handikin.
Dia mengingatkan jangan sampai Indonesia mengalami hal yang sama dengan Bank Sentral Bangladesh yang kehilangan uang sekitar 81 juta dolar AS akibat tindakan kriminal yang diduga kuat dilakukan oleh peretas pada awal Maret 2016.(Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...