Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 05:15 WIB | Senin, 21 November 2016

Orang Besar Bicara Gagasan

”Saya heran mengapa gagasan baru itu menakutkan bagi banyak orang. Bagi saya, gagasan lamalah yang menakutkan” (John Cage)
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Apa perbedaan utama manusia dengan mahluk lain? Manusia adalah makhluk bertanya. Ia ingin tahu segala sesuatu. Makhluk selain manusia menerima kehidupan sebagai keniscayaan yang tidak perlu dipertanyakan.

Seekor lembu yang lapar, misalnya, akan makan rumput di halaman tetangga, tanpa mempertanyakan apakah itu pantas atau tidak. Tidak demikian dengan manusia. Manusia memiliki nalar yang dapat mempertanyakan segala hal; mulai dari apa ini apa itu, kemudian mengapa begini mengapa begitu, sampai bagaimanakah seharusnya.

Pertanyaan pertama: apa ini apa itu, dan pertanyaan kedua: mengapa begini mengapa begitu, jawabannya adalah sesuatu yang statis, yang tidak berubah, definitif. ”Apakah benda bulat itu, yang menggantung di langit di malam hari, Ibu?” ”Itu bulan, Nak”.  Si anak bertumbuh lalu mengajukan pertanyaan yang lebih rumit: ”Mengapa bulan itu tidak mulus seperti bola melainkan seolah dilukis permukaannya, Ibu?”.  ““Karena bulan itu memiliki gunung dan lembah, sama seperti bumi, nak, yang dari kejauhan nampak seperti lukisan”. Statis. Tidak berubah. Tidak ada pilihan.

Berbeda dengan dua pertanyaan di atas, maka pertanyaan ketiga, yang paling tinggi derajatnya, merupakan  pertanyaan mengenai ”bagaimana seharusnya”, adalah pertanyaan yang jawabannya dinamis. Ada alternatif, ada pilihan. Belum tentu satu benar dan lainnya salah, karena semua bisa benar. Berbeda, namun tetap benar. Yang mana yang terbaik, itulah yang harus dikaji dan ditemukan.  Yang terbaik menurut yang satu, belum tentu juga terbaik menurut yang lain.

Seperti kelakar berikut: jika ada tiga orang makan di warung, satu Tionghoa, satu Jawa dan satu Belanda, berapa kaki yang akan nampak dari luar warung yang tertutup hanya bagian atasnya dan bagian bawahnya terbuka? Jawabnya: tiga kaki. Lo?  Mengapa bukan tiga pasang kaki? Oh, rupanya orang Tionghoa akan makan dengan kedua kakinya diangkat, orang Jawa akan makan dengan satu kaki diangkat sedangkan orang Belanda akan menginjak lantai dengan kedua kakinya.

Menurut ukuran Belanda, orang Tionghoa itu tidak sopan, namun menurut orang Tionghoa, dirinya oke saja. Lalu seharusnya bagaimana? Bagi orang Belanda yang pertama kali makan bersama orang Tionghoa dan orang Jawa lalu mendapati gaya makan yang berbeda itu, mungkin akan terkejut. Karena baginya, tidak pernah ada pilihan lain kecuali makan dengan dua kaki menginjak lantai.

Reaksi yang wajar jika selera makannya kemudian agak menurun karena melihat betapa dekatnya kaki orang Tionghoa itu dengan piring makannya. Kaki yang kotor tidak seharusnya begitu dekat dengan makanan. Tidak higienis. Reaksi ekstremnya bisa saja ia kehilangan selera makannya sama sekali  dan ia menolak makan. Yang mana akan sangat mengherankan bagi orang Tionghoa dan orang Jawa tadi. Lalu bisa terjadi, ganti merekalah yang tersinggung karena orang Belanda tak menghargai makanan yang telah disajikan.

Pertanyaan ”bagaimana seharusnya” di sini dijawab dengan satu pilihan, yaitu ”cara saya yang benar”, lalu terjadilah keretakan hubungan. Padahal, pertanyaan itu bisa dijawab dengan dinamis: budaya setiap bangsa atau suku bangsa itu berbeda, dan bagi yang menjalankannya itulah yang terbaik,  sudah dikaji berdasarkan nilai budaya dasarnya. Bukan dilihat sebagai salah benar, hitam putih.

Mereka yang mempertanyakan segala sesuatu dengan ”bagaimana seharusnya” lalu mencari jawab yang dinamis, akan menemukan cakrawala pemikiran yang semakin berkembang, tidak sempit, tidak menimbulkan ketegangan. Cara makan, cara memberi salam, cara berpakaian, cara berpikir, kepercayaan, semua boleh berbeda tapi tak perlu dilihat sebagai hitam putih: saya benar dan dia salah.

Seorang bijak mengatakan bahwa ”tak ada yang lebih berbahaya daripada sebuah gagasan, jika orang hanya memiliki satu gagasan”. Berwawasan sempit, itu sangat berbahaya. Menolak gagasan yang baru karena berbeda, adalah pemicu peperangan yang banyak terjadi di muka bumi ini.

Gagasan baru memang sering mengejutkan, dan karenanya sering kali ditolak pada awalnya. Galileo Galilei dikucilkan gereja pada 1633, akibat gagasannya yang mengatakan bahwa bumi adalah bulat dan  matahari adalah pusat tata surya. Ia mati dalam pengucilan (tahanan rumah) sembilan tahun kemudian. Setelah hampir empat ratus tahun, barulah namanya direhabilitasi ketika gereja mengakui bahwa gagasannya ternyata benar.  

Gagasan yang tidak ditolak mentah-mentah, melainkan digumuli, itulah yang memberikan inspirasi bagi perubahan positif. Sesungguhnya, kemajuan dunia ini tercapai karena selalu ada gagasan manusia yang tak hentinya dilahirkan. Ketika ada perbedaan yang dipertanyakan.  Lalu  ditemukan  gagasan baru yang lebih baik daripada yang ada. 

Ilmu dan teknologi berkembang karena manusia mempertanyakan dan mencari jawaban, menemukan kelemahan dalam gagasan lama lalu mengembangkan gagasan baru. Manusia bisa mencapai bulan karena mempertanyakan  sifat bulan dan manfaat atau bahayanya bagi bumi. Arthur Thomson, seorang ilmuwan awal abad ke-20, berkata, ”Faktor paling kuat di muka bumi adalah gagasan-gagasan  jernih yang lahir dari orang-orang yang  berniat tulus bagi kemajuan umat manusia.”  

Terbuka bagi gagasan baru,  dan tidak menutup diri bagi perbedaan, di situlah letak rahasianya. Bangsa-bangsa besar abad-abad ini, bisa menjadi besar karena pikiran yang terbuka terhadap perbedaan. Sebaliknya bangsa yang tidak bisa melihat perbedaan sebagai kekayaan, sulit bertumbuh.

Ungkapan John Cage di atas mendukung pemikiran bahwa kebiasaan lama bisa usang. Maka, sambutlah perubahan dengan pikiran terbuka. Ada baiknya pandangan Eleanor Roosevelt berikut ini direnungkan juga maknanya: ”Manusia berpikiran sederhana bicara mengenai orang lain, manusia kebanyakan bicara mengenai kejadian, tetapi manusia hebat bicara mengenai gagasan.”

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home