Orang Miskin Untuk Pengujian Obat?
BONN, SATUHARAPAN.COM - Sebuah laporan tentang pengujian obat yang diduga memanfaatkan ketidaktahuan pasien pada masa pemerintahan Jerman Timur Komunis, menjadikan perusahaan farmasi berada dalam sorotan tajam. Industri ini dituduh mengeksploitasi orang di negara-negara miskin untuk pengujian obat.
"Banyak orang di India hidup dalam kemiskinan ekstrim dan jarang memiliki akses ke perawatan medis, karena sistem kesehatan negara tidak memadai," kata Christian Wagner-Ahlfs, seorang ahli kimia dengan BUKO, sebuah organisasi yang meneliti kegiatan perusahaan farmasi di negara-negara miskin. "Mereka harus membayar untuk perawatan medis, dan mereka tidak punya uang," tambahnya.
Wagner-Ahlfs menuduh perusahaan memanfaatkan situasi putus asa orang-orang ini. "Ini tentu sangat menggoda ketika mereka diberi pilihan untuk menerima perawatan medis sebagai bagian dari studi klinis," katanya seperti dilaporkan situs dw.de.
Lobi farmasi menolak tuduhan tersebut, tetapi tidak dapat sepenuhnya mengesampingkan pengecualian di antara lembaga penelitian lokal ditugasi untuk melakukan penelitian. Di negara-negara yang sangat padat penduduknya seperti India dan Cina, akan lebih mudah untuk menemukan subjek dengan penyakit yang relevan. Para peserta, tentu saja, harus setuju untuk uji tersebut, kata Asosiasi Perusahaan Farmasi Berbasis Penelitian (VFA).
"Perusahaan farmasi bahkan dapat membantu untuk melakukan perbaikan untuk sistem kesehatan dengan melengkapi rumah sakit dan lembaga medis lainnya dengan teknologi modern dan tenaga," kata VFA itu Rolf Hömke.
Pedoman Tes Medis
Obat yang digunakan untuk membantu penyembuhan pada manusia harus diuji pada manusia. Hal ini merupakan sesuatu yangdisetujui peneliti. Sebuah obat harus menjalani proses pengembangan yang panjang, bahkan sebelum sampai ke uji klinis pada subjek manusia. Dan untuk itu fase uji klinis pada manusia, ada peraturan yang jelas. World Medical Association (WMA), organisasi medis pada lebih dari 100 negara dan memiliki aturan yang jelas di mana obat baru harus diuji.
Pasien harus benar-benar mendapatkan informasi tentang penelitian, partisipasi sukarela dan subjek diizinkan untuk berhenti dari p[engujian setiap saat dan tanpa memberikan alasan. Subjek harus mengkonfirmasi partisipasi mereka dengan menandatangani persetujuan (informed consent).
Selain itu, harus ditentukan bagaimana dan dalam bentuk apa pasien akan terus menerima perawatan medis setelah studi selesai, kata Sekjen WMA, Otmar Kloiber. "Itu bisa menjadi sangat penting pada penyakit kronis. Orang tidak dapat dilihat sebagai kelinci percobaan dan kemudian ditinggalkan setelah percobaan selesai," tambahnya.
Pengawasan Penelitian
Pembuat obat Jerman Boehringer Ingelheim-125, menurut perusahaan itu, saat ini sedang melakukan uji klinis di 72 negara. Lebih dari 70.000 orang yang berpartisipasi dalam studi tersebut. Perusahaan lain mungkin memiliki angka yang sama.
Namun, "banyak cobaan tidak diperlukan, karena obat yang dikembangkan sudah jelas tidak akan memberi kemajuan pada pengobatan," kata Wagner-Ahlfs. Banyak obat yang diuji hanya berbeda dalam komposisi yang bisa diabaikan dari obat sudah ada di pasar. "Mereka hanya dikembangkan untuk memastikan perlindungan paten baru dan menuai keuntungan yang lebih tinggi," katanya.
Selain itu, subjek dalam uji klinis di negara-negara miskin menawarkan untuk pengembangan obat, tetapi bukan mengembangkan pengobatan dan hanya akan berakhir di toko obat bebas. "Itu adalah masalah etika yang besar," ujar ahli kimia Wagner-Ahlfs.
Deklarasi Helsinki
Tuduhan bahwa perusahaan farmasi menggunakan outsource untuk sebagian besar uji mereka ke Afrika atau Asia. Hal itu dilakukan dengan alasan keuanga. Namun Asosiasi Perusahaan Farmasi Berbasis Penelitian menolak tuduhan itu.
Berdasarkan data statistik Amerika Serikat, perusahaan farmasi tahun lalu memulai 2.590 penelitian di Amerika Serikat, 715 di Jerman, dan Inggris, Kanada dan Prancis masing-masing memiliki 500 penelitian. Di China dan India, di sisi lain, ada kurang dari 200.
Perlu untuk memastikan bahwa kriteria untuk pengujian medis dilakukan dengan seragamdi seluruh dunia. Sebuah lembaga regulator negara bagian di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang telah menetapkan pedoman untuk "Good Clinical Practice" yang dikembangkan dari "Deklarasi Helsinki" WMA. Deklarasi ini pertama kali diadopsi pada tahun 1964.
Deklarasi ini menjelaskan prinsip-prinsip etika untuk penelitian medis yang melibatkan sujyek manusia. Perusahaan farmasi besar telah berjanji untuk menghormati pedoman ini. Hal itu menjadi penting, karena mereka hanya bisa mengirimkan obat baru untuk disetujui oleh badan regulator jika dapat membuktikan bahwaobat telah memenuhi standar tersebut.
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...