Owa Jawa, Satwa Monogami Terancam Punah
SATUHARAPAN.COM - Kisah ini terjadi penggal akhir November 2015. Javan Gibbon Center (JGC), pusat rehabilitasi owa jawa di Bodogol, di kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango, Lido, Sukabumi, menerima anggota baru, bayi owa jawa betina bernama Irma.
Owa jawa (Hillobates moloch) adalah satu-satunya jenis primata tidak berekor dari keluarga owa (Famili Hylobatidae) yang ditemukan di Pulau Jawa (endemik). Situs resmi Javan Gibbon Center menyebutkan kerabat owa lainnya hidup di Sumatera (dua jenis), Mentawai (satu jenis), dan Kalimantan (dua jenis).
Saat ini owa jawa terancam kepunahan. Badan konservasi dunia IUCN pada 2004 menetapkan satwa ini berstatus terancam kepunahan (endangered).
Irma, bayi owa Jawa betina anggota baru di keluarga besar Javan Gibbon Centre itu umurnya saat itu kurang dari satu tahun. Sebagaimana bayi pada umumnya, Irma seharusnya bersama ibu dan ayahnya. Ulah manusia-manusia tidak bertanggung jawab menyebabkan Irma harus hidup tanpa orangtuanya.
Javan Gibbon Center menyebutkan, walaupun keberadaan owa jawa dilindungi undang-undang, masih ada sebagian masyarakat yang menjadikannya satwa peliharaan. Sebagai primata monogami yang hidup berkeluarga, mengambil satu owa jawa berarti mengorbankan paling tidak dua owa jawa lainnya.
Pemburu acap kali harus membunuh induk owa jawa untuk mengambil anak yang masih diasuhnya.
Selain perburuan, owa jawa juga menghadapi risiko kepunahan akibat pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di Pulau Jawa.
Membantu Penyebaran Biji di Hutan
Owa jawa, mengutip dari situs Taman Nasional Gede-Pangrango, adalah jenis primata arboreal yang tinggal di hutan tropis. Makanannya buah-buahan, daun-daunan, dan serangga. Owa jawa adalah bagian vital dari sistem pendukung kehidupan karena hewan primata ini membantu penyebaran biji bagi hutan.
Satu keluarga owa jawa umumnya terdiri atas sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Owa jawa, satwa endemik Pulau Jawa, ditetapkan badan konservasi dunia IUCN pada 2004 masuk dalam daftar satwa terancam kepunahan kategori kritis. Ancaman bagi mereka adalah kehilangan habitat, perburuan, dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan.
Beberapa hasil survei memperkirakan populasi owa jawa di alam tersisa lebih kurang 4.000 individu. Populasi kecil yang tersisa di alam dan terisolasi itu membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan.
Javan Gibbon Center didirikan pada tahun 2003, atas kerja sama PHKA-Departemen Kehutanan RI (sekarang Kementerial Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Yayasan Owa Jawa, didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Indonesia, dan Silvery Gibbon Project (SGP). Yayasan Owa Jawa sendiri didirikan pada 7 Maret 2001, dengan misi membantu Pemerintah Indonesia dalam melestarikan owa jawa dan habitatnya melalui upaya penyelamatan, rehabilitasi, dan reintroduksi.
Sejak dibangun pada 2003, Javan Gibbon Center telah menerima dan merawat 30 owa jawa yang sebelumnya dipelihara masyarakat atau dari hasil sitaan. Setiap owa yang datang, dirawat dengan sebaik-baiknya dengan harapan suatu saat dapat dilepasliarkan ke hutan tempat hidupnya dalam keadaan sehat dan sudah berpasangan.
Berbeda dengan satwa primata umumnya, owa jawa hidup berpasangan dalam sistem monogami, sehingga mencari pasangan yang tepat untuk setiap owa jawa menjadi tantangan tersendiri di pusat rehabilitasi itu.
Bayi Jantan Tidak Terselamatkan
Jika Irma, bayi owa jawa yang diterima Javan Gibbon Center dapat diselamatkan, tidak demikian halnya dengan bayi jantan yang datang bersamanya. Bayi jantan itu tidak dapat diselamatkan.
Kedua bayi owa itu hendak diselundupkan oleh seorang warga negara asing asal Kuwait ke negara asalnya melalui penerbangan internasional Bandara Soekarno-Hatta. Dua bayi owa itu dikisahkan dibeli di pasar di kawasan Jalan Pramuka, Jakarta Timur.
Perburuan satwa liar dilindungi, seperti dinyatakan Javan Gibbon Center, masih marak dilakukan. Kurangnya kesadaran akan pentingnya eksistensi keragaman fauna di alam menjadi salah satu faktor utama perburuan itu. Padahal, perburuan satwa liar sama dengan serangkaian pemusnahan secara bertahap spesies yang mungkin hanya tersisa beberapa ribu individu saja di dunia. Tidak disadari tindakan itu akan menghasilkan efek domino yang berujung pada penghancuran planet bumi sendiri, mengingat setiap spesies yang menempati hutan memiliki fungsi masing-masing untuk menjaga kelestarian hutan.
Editor : Sotyati
Kemensos Dirikan 18 Sekolah Darurat Pasca Erupsi Lewotobi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sedikitnya 18 sekolah darurat didirikan oleh Kementerian Sosial (Kemensos...