Pabrik Runtuh, Perlindungan Pekerja di Bangladesh Lemah
NEW YORK, SATUHARAPAN - Runtuhnya sebuah bangunan pabrik berlantai delapan dekat kota Dhaka, Bangladesh, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk meningkatkan perlindungan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Demikian diungkapkan Human Rights Watch, hari Jumat (26/4) di New York.
Menurut lembaga ini, pemerintah Bangladesh perlu melakukan reformasi untuk perbaikan drastis tentang tenaga kerja, khususnya berkaitan dengan hak pekerja dalam kesehatan dan keselamatan kerja, serta hak untuk berserikat.
Seperti diberitakan sebelumnya, di daerah Savar, di luar Dhaka, gedung Rana Plaza dimana lima pabrik garmen beroperasi runtuh, pada Rabu (24/4). Jumlah korban tewas telah mencapai ratusan jiwa. Sebagian besar korban adalah pekerja pabrik garmen, dan sejumlah besar orang masih terperangkap dalam reruntuhan.
"Mengingat catatan panjang kematian pekerja di pabrik-pabrik, tragedi seperti ini harus dihentikan, dan sebenarnya bisa diprediksi," kata Brad Adams, Direktur Asia Human Rights Watch.
"Pemerintah, pemilik pabrik lokal, dan industri garmen internasional membayar pekerja dengan upah terendah di dunia, tetapi tidak memastikan kondisi aman bagi pekerja,” kata dia.
Human Right Watch mencatat beberapa kasus runtuhnya bangunan di Bangladesh. Pada April 2005, 73 pekerja meninggal dalam kasus runtuhnya bangunan pabrik. Februari 2006, 18 pekerja tewas di sebuah pabrik garmen di Dhaka yang runtuh. Juni 2010, 25 orang tewas dalam sebuah bangunan runtuh di Dhaka, dan November 2012, lebih dari 100 pekerja tewas dalam kebakaran di sebuah pabrik di Dhaka.
Bangladesh memiliki mekanisme inspeksi keselamatan kerja yang terkenal miskin, kata Human Rights Watch. Departemen yang bertanggung jawab untuk memantau kepatuhan pengusaha terhadap UU Ketenagakerjaan, secara kronis kekurangan sumber daya. Pada bulan Juni 2012, Departemen ini hanya memiliki 18 pengawas yang memantau sekitar 100.000 pabrik di distrik Dhaka, di mana bangunan Rana berada. Sektor garmen sendiri mempekerjakan sekitar tiga juta pekerja.
Ketika ditemukan adanya pelanggaran UU Ketenagakerjaan, denda yang dikenakan dalam undang-undang di Negara itu tidak cukup untuk memaksa kepatuhan pada peraturan. Meskipun UU memungkinkan untuk memenjarakan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran kesehatan dan keselamatan kerja, pelanggaran lebih sering selesai dengan denda yang nilainya sekitar US$ 13 per kasus.
Nilai Manusia dan Keuntungan Bisnis
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi Gereja-gereja Lutheran ( LWF), Martin Junge, mengatakan bahwa manusia tidak boleh dikorbankan hanya demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
Oleh karena itu, nyawa manusia tidak untuk “dijual' dan nilai hidup mereka tidak boleh ditundukkan oleh aturan mengejar keuntungan dan persaingan di pasar global, kata Junge seperti disiarkan dalam situs LWF, hari Jumat (26/4) di Jenewa, Swiss.
Junge mengungkapkan hal itu dalam surat kepada Uskup Arobindu Bormon dari Gereja Lutheran Bangladesh, dan Pdt Paulus Hasdak dari Gereja Evangelis Lutheran di Bangladesh Utara. Keprihatinannya itu disampaikan karena pabrik garmen di negeri itu termasuk yang memasok pakaian yang dijual di Barat.
Ratusan pekerja garmen, yang dipekerjakan di pabrik-pabrik yang memasok toko-toko pakaian di Barat, dikhawatirkan tewas dalam reruntuhan bangunan. Para pejabat mengatakan 160 orang dikonfirmasi tewas, sementara 2.000 pekerja telah diselamatkan. Industri garmen Bangladesh adalah penghasil devisa terbesar negara itu.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...