Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 19:46 WIB | Selasa, 20 Januari 2015

Pakar Harap Uji Publik UU Pilkada Selesai Sebulan

Jimly Asshiddiqie (kanan). (Foto: dok. satuharapan.com/Elvis Sendouw)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengharapkan uji publik Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Wali Kota, dan Bupati, serta Perppu No 2/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah disahkan menjadi undang-undang (UU) dalam Rapat Paripurna ke-16 DPR bisa dipercepat menjadi satu bulan.

Menurut dia, percepatan uji publik itu sangat penting agar pemilihan kepala daerah serentak yang direncanakan berlangsung tahun 2015 ini bisa terlaksana sesuai jadwal.

“Saya kira uji publik bisa dipercepat. Itu hal-hal yang bisa diperbaiki menyangkut teknis,” ujar Jimly Asshiddiqie yang ditemui jelang Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR di Ruang Rapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/1). Uji publik—diputuskan DPR—lima bulan sangat membuang-buang waktu, katanya.

Menurut dia ada hal yang sangat serius dalam materi UU tersebut, yakni berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Masalah itu adalah dengan mengembalikan kewenangan perselisihan hasil pilkada bukan lagi menjadi kewenangan MK.

“Ini sangat serius berkaitan dengan hakikat pilkada itu sebagai pemilihan umum atau bukan. Kalau pemilihan umum, maka penyelenggaranya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan perselisihan hasilnya di Mahkamah Konstitusi (MK),” kata dia. Padahal, pada , Pasal 157 ayat (1) UU Pilkada yang baru saja disahkan berbunyi, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung”.

Tapi, lanjut Jimly, kalau pilkada didefinisikan bukan sebagai pemilihan umum, memang benar perselisihan hasilnya tidak di MK. Masalahnya sekarang, penyelenggaranya tidak boleh KPU. Padahal Undang-undang Dasar 1945 mendesain penyelenggara pemilihan umum itu KPU.

“Inilah yang tidak konsisten dalam perppu yang dikeluarkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono karena menangkap pesan yang tidak utuh dari putusan MK. Selain itu, putusan MK tidak dibaca sebagai satu kesatuan dengan putusan MK sebelumnya yakni tahun 2005. Jadi, terjadi kesalahpahaman seakan-akan mutlak putusan itu menentukan bahwa pilkada bukan lagi pemilihan umum,” dia menjelaskan.

Jimly menyarankan putusan MK dibaca kembali sebagai satu kesatuan dengan putusan MK sebelumnya (tahun 2005) yang menegaskan bahwa pilkada itu ditentukan sebagai pemilihan umum atau bukan. Selanjutnya, Jimly meminta dibuka kebebasan pembentuk UU, dalam hal ini pemerintah bersama DPR.

“Yang penting konsistensi dan konsekuensi dari pilihan. Kalau dikatakan bukan pemilihan umum penyelenggaranya juga tidak boleh KPU. Tapi kalau pemilihan umum, maka KPU sebagai penyelenggara. Jadi, perselisihan hasil tetap di MK. Pembentuk UU punya kewenangan untuk mengatur hal itu dan MK tidak boleh menolak karena UU hanya mengatur mengenai pelaksanaan perselisihan hasil pilkada,” tutur Jimly.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home