Pakar: Konservasi Air Kalah Cepat dengan Kerusakan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar hidrologi Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, upaya konservasi sumber daya air kalah cepat dengan faktor-faktor penyebab kerusakan, sehingga permasalahan tersebut menyebabkan munculnya krisis air bersih di sejumlah kota besar.
"Kita semua paham dengan faktor-faktor penyebab permasalahan krisis air di Jakarta,dan wilayah pesisir lainnya, tapi apa yang kita lakukan kalah cepat untuk mengantisipasi hal itu," kata Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Rabu (3/9).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencontohkan semua masyarakat tahu, bahwa suatu ekosistem dapat berjalan sempurna jika kawasan hijau sebagai resapan air sebanyak 30 persen dari ekosistem.
Namun, hal itu hanya sebatas menjadi pengetahuan saja karena tidak dijalankan. Karena mekanisme pasar yang lebih kuat, keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan sering kali di bawah 30 persen.
Sutopo mengatakan, dalam penanganan bencana, pihaknya pernah melakukan survei dengan metode "knowledge" (pengetahuan), "atitude" (perilaku) dan "practice" (praktik sehari-hari) yang disingkat menjadi survei KAP.
"Ternyata pengetahuan masyarakat tentang masalah kerusakan sumber daya air sudah meningkat. Namun, pengetahuan itu belum menjadi perilaku apalagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari," tuturnya.
Akibatnya, kata Sutopo, akumulasi kerusakan sumber daya air semakin meningkat. Masyarakat sendiri yang akan dirugikan karena kualitas lingkungan merosot, yang bisa berujung pada sebuah bencana.
Menurut Sutopo, salah satu penyebab munculnya masalah kerusakan sumber daya air di Jakarta adalah pengambilan air tanah, baik air tanah dangkal maupun air tanah dalam, yang tidak dikendalikan.
Di sisi lain, jumlah air yang masuk kembali ke tanah relatif minim. Diperkirakan air hujan yang turun di Jakarta 2.000 juta meter kubik per tahun. Hanya 532 juta meter kubik per tahun atau 26,6 persen yang masuk ke tanah karena 1.468 juta meter kubik atau 73,4 persen mengalir ke laut.
Dari kawasan Bogor, Jakarta mendapat pasokan air tanah 37 juta meter kubik per tahun. Sementara, potensi air tanah dangkal Jakarta hanya 492 juta meter kubik per tahun, dan air tanah dalam 77 juta meter kubik per tahun.
Batas aman pengambilan air bawah tanah adalah 30 persen hingga 40 persen dari potensi, atau hanya 185 juta meter kubik per tahun. Namun, pada 2005 saja, Jakarta mengalami defisit air tanah sebesar 66,65 juta meter kubik per tahun.
Akibatnya, amblesan muka tanah di Jakarta rata-rata 3,5 centimeter per tahun. Sementara, kenaikan muka laut mencapai 4,38 milimeter hingga tujuh milimeter per tahun. (Ant)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...