Pakar UII: Perempuan Tidak Dilarang Jadi Gubernur Yogyakarta
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Polemik Rancangan Peraturan Daerah Istimewa (Raperdais) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyoal Pasal 3 ayat 1 huruf m, akhirnya usai. Polemik tersebut berakhir setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY menggelar Rapat Paripurna pada Selasa (31/3) yang menyepakati bahwa Pasal 3 ayat 1 huruf m Raperdais ditulis seperti bunyi pada Pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-undang Keistimewaan (UUK).
Masalah yang diperdebatkan menyoal kata “istri” dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK tentang Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Secara utuh, bunyi Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK sebagai berikut, “Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.” Kata “istri” inilah yang menuai polemik hingga Raperdais, khususnya Pasal 3 ayat 1 huruf m terus diperdebatkan berlarut-larut hingga 2 bulan lamanya.
Usai digelar Rapat Paripurna DPRD DIY, disepakati bahwa Pasal 3 ayat 1 huruf m Raperdais yang berbunyi, “Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” tetap ditulis utuh, tanpa adanya penambahan atau pengurangan kata. Hal ini merujuk pada Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK.
.Kata “istri” yang termuat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK oleh sementara kalangan dipandang terkesan diskriminatif. Jika dilihat secara sepintas, penggunaan kata “istri” menutup peluang bagi perempuan untuk duduk sebagai Gubernur DIY. Namun, menurut Zairin Harahap, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), kalimat yang termaktub dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK tersebut bersifat open legal policy.
“Polemik yang muncul terkait kata ‘istri’ yang dimuat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK masih bisa diperdebatkan karena ada kata ‘antara lain’ di depannya. Dalam bahasa hukum, kata ‘antara lain’ ini bersifat open legal policy, yang berarti bisa ditambahkan,” demikian penjelasan Zairin Harahap pada Rabu (1/4).
Menurut Zairin, sifat open legal policy ini akan membuat makna dalam kalimat yang termaktub dalam Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK menjadi lebih luas. Pasalnya, kata ‘istri’ bisa diganti atau ditambahkan dengan kata ‘suami’. Atau, jika calon gubernur adalah seorang duda atau janda, tidak perlu menyerahkan daftar riwayat hidup mantan istri atau suaminya.
“Artinya dengan open legal policy tersebut, Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK tidak memuat unsur diskriminatif. Misalnya jika seseorang yang mencalonkan diri adalah perempuan, bisa ditambahkan dengan menyerahkan daftar riwayat hidup suaminya. Atau jika seorang calon gubernur adalah duda atau janda, tidak perlu menyerahkan daftar riwayat hidup mantan istri atau suaminya. Bahkan jika seorang calon tidak memiliki anak sekalipun, tidak perlu menyerahkan daftar riwayat hidup anak,” tambah Zairin.
Hal senada disampaikan oleh Eko Suwanto, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P). Menurut Eko, tidak benar bahwa Pasal 18 ayat 1 huruf m UUK dianggap diskriminatif karena ada frasa “antara lain” yang bersifat terbuka.
“Frasa terbuka inilah yang menurut saya bisa ditambahkan, asalkan tidak dikurangi. Maka saya tidak sependapat jika pasal tersebut dikatakan diskriminatif sehingga menutup peluang perempuan untuk menjadi gubernur,” tandas Eko.
Eko memberi contoh kasus yang menjadi polemik tersebut dengan proses dirinya ketika mengisi formulir sebagai calon anggota DPRD DIY. Dalam formulir tersebut, dirinya tidak mencantumkan daftar riwayat hidup anak karena memang belum memiliki anak.
Editor : Eben Ezer Siadari
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...