Palang Merah Peringatkan Ancaman Bencana Pangan di Sudan Selatan
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – “Puluhan ribu orang yang melarikan diri dari kekerasan di Sudan Selatan, terancam mengalami kelaparan, mengingat pertempuran mengganggu musim tanam dan memotong rantai pasokan,“ demikian dilaporkan Palang Merah, Senin (18/5).
Perang saudara pecah di Sudan Selatan pada Desember 2013, saat Presiden Salva Kiir menuduh wakilnya, yang telah dipecat, Riek Machar, mencoba melakukan kudeta.
“Baru-baru ini warga mengungsi dari kota yang dikuasai oposisi, Leer, di kawasan kaya minyak, Unity State, dan ke Kodok di negara bagian Nil Hulu,“ kata Komite Palang Merah Internasional.
Palang Merah dunia itu mengingatkan, permusuhan dapat memutuskan jalur pelarian, dan menyampaikan kekhawatirannya warga akan menderita kekurangan makanan, dan perawatan kesehatan saat dalam pelarian.
Selain itu, para pengungsi dari Leer, termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang sudah lebih dulu mengungsi akibat pertempuran setahun lalu, "tiba saat periode tanam penting negara itu sedang berlangsung," kata The International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam sebuah pernyataan.
"Pergolakan itu, tidak diragukan akan berdampak negatif pada kemampuan warga untuk menanam makanan yang akan digunakan untuk memberi makan keluarga mereka hingga musim panen berikutnya," katanya.
Pertempuran itu juga memaksa ICRC menghentikan kegiatan rutinnya, dan mengurangi staf di Leer, di mana organisasi itu memiliki salah satu distribusi makanan terbesar di dunia.
"Perpindahan warga yang berkepanjangan mendudukkan pengungsi dalam posisi menderita. Kami khawatir jika situasi yang dihadapi 100.000 orang di Leer, yang sekarang bersembunyi dalam kondisi yang tak terbayangkan sulit, akan memburuk dari hari ke hari," kata Franz Rauchenstein, yang mengepalai delegasi ICRC di Sudan Selatan.
"ICRC harus dapat mengakses komunitas ini. Kami menyerukan kepada semua yang terlibat dalam pertempuran untuk memudahkan pekerjaan Palang Merah, untuk menyelamatkan nyawa warga," katanya.
Pertempuran di negara terbaru di dunia itu, yang memperoleh kemerdekaan dari Sudan pada 2011, telah ditandai dengan pembantaian bermotif etnis, pemerkosaan, dan serangan terhadap warga sipil dan fasilitas kesehatan.
Kekerasan itu, yang telah meningkat menjadi konflik etnis yang melibatkan beberapa kelompok bersenjata, telah menewaskan puluhan ribu orang.
ICRC, Senin (18/5) mengatakan, penembakan intensif di daerah Kodok membahayakan kehidupan pasien di sebuah rumah sakit yang terletak di lokasi itu, dan mengatakan meskipun rumah sakit tetap buka, pihaknya telah memindahkan operasional ke Oriny.
ICRC mengingatkan, semua pihak yang terlibat dalam pertempuran warga sipil dan fasilitas kesehatan tidak boleh menjadi target, menurut hukum internasional.
"Semakin besar pertempuran di Sudan Selatan meluas, kelompok rentan akan makin menderita, baik dari risiko kekerasan seksual, kurangnya makanan dan obat-obatan, atau wajib militer paksa kepada generasi muda," kata ICRC, dengan menekankan menggunakan anak-anak di bawah usia 15 tahun sebagai tentara adalah kejahatan perang.(AFP/Ant)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...