Pameran Bersama “Sense of Arttitude”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mengangkat tajuk Sense of Arttitude, dua puluh satu seniman-perupa lintas generasi dan lintas disiplin seni rupa menggelar pameran bersama di Jogja Gallery. Pameran bersama yang merupakan perhelatan seni rupa yang ke-194 di Jogja Gallery dibuka oleh pengelola Jogja Gallery Indro Suseno, Sabtu (7/3) malam.
Keduapuluh satu seniman tersebut adalah Adha Widayansah, Amboro Liring, Bahrul Hepi, Budi Barnabas, Budi Haryanto, Eiwand Suryo, Ekki BP, Fikri MS, Guntur Songgo Langit, Heri Sudiono, Iin Risdawati, Ipo Hadi, Kukuh Nuswantoro, N Rinaldy, Nugroho Heri Cahyono, Nugroho Wijayatmo, Pambudi Sulistio, Riki Antoni, Ronie Lampah, Sumbul Pranov, dan Yanal Desmon Zendrato.
Tema Sense of Arttitude dipilih sebagai pembacaan seniman-perupa atas proses yang dijalaninya. Sense of Arttitude merupakan kesadaran terhadap sikap perilaku seniman sebagai sebagian penanda zaman. Kata arttitude yang dipilih dengan menggabungkan kata art dan attitude menjadi sikap perilaku atau tingkah laku seseorang dalam melakukan interaksi dengan orang lain yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap tersebut dan dituangkan dalam estetika karyanya. Tema tersebut dapat dimaknai sebagai kepekaan seniman-perupa secara panca indera maupun rasa yang berpengaruh terhadap cara bertindak dalam merespon sekitarnya.
Dalam tema tersebut keduapuluh satu seniman-perupa mempresentasikan karya dua-tia matra di dua lantai Jogja Gallery. Eksplorasi ide dan material menjadi pilihan penanda seniman-perupa dalam kekaryaannya.
Memasuki ruang Jogja Gallery pengunjung langsung disuguhi dengan karya tiga matra Sumbul Pranov berjudul Fokus dalam medium cat akrilik di atas serat kaca. Dalam citraan warna merah menyala dan aksen hitam karya Sumbul cukup mencuri perhatian di antara karya yang tersaji.
Dalam karya lukisan series Halaman Yang Hilang #1-3 seniman Riki Antoni dengan obyek-figur anak kecil yang kehilangan halaman tempat bermainnya. Halaman sebagai ruang sosialisasi bagi anak-anak beserta lingkungannya adalah ruang tumbuh kembang. Kerusakan lingkungan akibat ekspoiltasi SDA yang berlebihan telah banyak menghilangkan ruang bermain anak-anak hampir di seluruh tempat di Indonesia.
Dunia anak adalah dunia bermain dalam tumbuh-kembang bersama teman-temannya. Dan ketika semua ‘permainan’ telah tersedia dalam sebuah gawai pintar, masyarakat sering kehilangan ruang interaksi-sosialiasi. Tidak terkecuali anak-anak.
Dan di perkotaan, ketika lahan semakin sempit dan semakin mahal, seberapa banyak-besar tersedia ruang publik bagi anak-anak-remaja? Bagaimanapun dunia anak adalah dunia bermain. Ketika ruang-ruang publik semakin sedikit, pada gilirannya ruang ekspresi-apresiasi pun akan berkurang bagi anak-anak dan generasi muda. Gejala kenakalan anak-remaja di berbagai kota bahkan telah menjurus dalam kejahatan-pidana menjadi symptom tidak terakomodasinya mereka dalam ruang ekpresi-apresiasi.
Riki Antoni menyampaikan pesan yang cukup jelas, sebagai makhluk yang bermain (homo ludens) sudah sejak lama manusia kehilangan halaman perjumpaan dan ruang bermainnya tergantikan oleh ruang-ruang kosong minim dialektika. Terlebih ketika perkembangan teknologi informasi yang terhubung, perkembangan wilayah perkotaan dan berangsur-angsur menuju wilayah sub-urban dan perdesaan yang semakin menjadi anonim dan miskin dengan perjumpaan fisik memperbincangkan banyak hal. Tanpa “perbincangan” yang intim, teknologi hanya akan menjadi menyulitkan dan menjauhkan.
Seniman muda Yanal Desmon Zendrato menyajikan tiga lukisan yang berbeda. Yanal merekam dramatika keterpasungan yang impressif dalam karya Blue Ladder, sementara pada karya berjudul Deep Voice, dalam citraan monochrome arang di atas kertas Yanal merekam drama lain terkait dengan kelahiran-kehidupan. Berbeda dengan dua karya sebelumnya pada karya Botton Pig Yanal membuat karya realis-surealis yang kaya detail-warna.
Komoditas Tembakau: Sejarah, Budaya dan Polemiknya
Pambudi Sulistio yang dikenal dengan lukisan logamnya, selain dua lukisan dalam medium alluminium berjudul Cabut Duri dan Linting Gelek, dalam tiga lukisan berjudul Insan Mbako, Putri Temanggung, dan Perut Bumi Pambudi mengeksplorasi daun tembakau sebagai medium karyanya. Batang daun tembakau digunakan Pambudi membentuk garis-garis obyek/figur karya dua matranya semntara lembaran daun tembakau menjadi kanvas bagi cat warna karyanya.
Menarik ketika Pambudi melakukan eksplorasi atas daun tembakau yang telah menjadi keseharian masyarakat di Indonesia sejak lama ke dalam karyanya. Bunga dan dedaunan kerap digunakan seniman-perupa sebagai pewarna karya seninya. Ecoprint di atas kain banyak memanfaatkan daun-bunga untuk membentuk obyek-warna dalam karya. Bubuk kopi bahkan sering digunakan sebagai material lukisan bagi seniman untuk menghasilkan citraan monochrome.
Pada lembaran daun tembakau itulah seolah Pambudi Sulistio menjadikan kanvas untuk karya lukisannya dalam pembacaan atas realitas yang telah dan sedang terjadi.
Tembakau yang tumbuh dalam khasanah budaya di nusantara sepanjang waktu kerap menimbulkan konflik-polemik terkait dengan budaya, kemiskinan, kesehatan masyarakat, matapencaharian masyarakat, serapan tenaga kerja, hingga pemasukan bagi pendapatan negara.
Mengutip dari laman https://indonesia.go.id/ bagi masyarakat lereng Sumbing-Sidoro-Prau, misalnya, di sana dikenal ritual among tebal. Ini adalah satu dari empat ritual masyarakat setempat terkait tembakau, di mana among tebal ialah upacara menjelang penanaman bibit hari pertama.
Di Madura juga terdapat folklore mengisahkan sejarah tembakau terkait seorang tokoh bernama Pangeran Katandur. Istilah ‘katandur’ artinya menanam. Nama ini diberikan kepada Habib Ahmad Baidlowi, sosok yang kemudian dikenal menjadi cikal bakal tanaman tembakau dikembangkan di pulau garam itu sejak abad ke-12. Tak kecuali beberapa komunitas masyarakat adat seperti Sunda Wiwitan Ciptagelar, Bayan (Wetu Telu), dan bukan tak mungkin masih banyak masyarakat adat lainnya yang meyakini, tanaman tembakau laiknya tanaman cengkeh berasal dari Nusantara.
Tradisi nyirih, nyereh, nginang, atau nyusur, misalnya. Tergambar pada salah satu relief di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Sojiwan (abad ke-9). Relief itu memperlihatkan tempat sirih dan wadah dubang serta bentuk orang mengunyah yang ditafsirkan oleh para arkeolog sebagai mengunyah sirih.
Bicara konsumsi tembakau dengan cara dibakar, sejarah mencatat kebiasaan ini telah menjadi perilaku dan kebiasaan masyarakat Indonesia jauh hari juga. Babad Tanah Jawa mencatat merokok mulai digemari orang Jawa saat Panembahan Senapati wafat. Sejarawan De Graaf mengatakan, Raja Sultan Agung di Mataram Islam ialah perokok kelas wahid. Sementara potret tentang khalayak luas telah menyukai rokok terlihat dalam folklore dan lakon kethoprak “Rara Mendut-Pranacitra”. Rara Mendut dan Pranacitra yang merupakan narasi lokal perihal kisah cinta ala Romeo dan Juliet ini mengambil konteks waktu di masa pemerintahan Sunan Amangkurat I, anak dari Sultan Agung. Dalam folklore dan lakon kethoprak itu diceritakan, bahwa rokok telah jadi barang dagangan sehari-hari.
Selain itu, pada Serat Centhini (1814) yang disebut-sebut sebagai ensiklopedi Jawa juga ditemukan kata “ngaudut”, “eses” atau “ses” sebagai istilah umum bahasa Jawa menyebut fenomena konsumsi tembakau dengan cara dibakar. Istilah rokok sendiri baru digunakan belakangan, yaitu kisaran akhir abad ke-19. Berasal dari bahasa Belanda yaitu “ro’ken”, pada mulanya hanya digunakan untuk menyebut orang mengisap pipa dan cerutu.
Bicara sejarah tanaman tembakau sebagai sektor industri perkebunan yang dikelola secara besar-besaran tentu ialah buah kebijakan Pemerintah Belanda. Tingginya nilai tembakau dalam perdagangan dunia saat itu, Gubernur Jenderal Van den Bosch mengeluarkan kebijakan kulturstelsel menempatkan tanaman tembakau sebagai salah satu komoditas yang harus ditanam. Disebut “onderneming” yaitu perkebunan budidaya yang diusahakan secara besar-besaran dengan piranti teknologi modern. Pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda itu dilaksanakan bersamaan dengan memuncaknya harga komoditas tembakau di Eropa.
Sebutlah popularitas “Deli Tabak” atau “Tembakau Deli” di Eropa nantinya, misalnya, dimulai dari ekspansi onderneming tembakau di Sumatera Timur. Dipelopori seorang Belanda J. Nienhujs. Datang ke Deli atas ajakan Said Abdullah pada 1863, Nienhujs berhasil mendapatkan konsesi tanah dari Sultan Deli untuk membuka perkebunan. Letaknya di tepi Sungai Deli dengan luas 4.000 bau (1 bau: 0,7 hektar). Perjanjian konsesi diberikan selama 20 tahun. Selama 5 tahun pertama dia dibebaskan dari pajak dan sesudah itu baru membayar 200 gulden setahun. Kendati awalnya kurang berhasil, tetapi sejak itu ekspansi ekonomi perkebunan mulai berjalan dengan skala besar.
Pada tahun 1869 Nienhuijs mendirikan Deli Maatschappij, sebuah perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda dengan kantor pusatnya di Rotterdam. Dari tahun ke tahun jumlah perkebunan tembakau terus bertambah. Tercatat, dari 1 onderneming tembakau di 1864, kemudian naik dan naik hingga mencapai puncaknya pada 1891 dengan onderneming tembakau berjumlah 169. Lokasinya tidak semata di Deli tetapi meluas hingga Langkat dan Serdang. Kemunculan perkembunan tembakau juga bukan hanya terjadi di Sumatera Timur tetapi juga bermunculan di Pulau Jawa. Pertumbuhan industri perkebunan tembakau ini sejalan dengan kenaikan angka ekspor tembakau ke Rotterdam. Kualitas tembakau Indonesia dikenal sebagai salah satu tembakau terbaik di dunia.
Namun sejalan munculnya overproduction di pasar dunia, juga boikot atas praktik poenale sanctie terhadap buruh-buruh perkebunan, penerapan bea McKinley, dan tentunya juga penurunan harga tembakau, maka di 1904 jumlah onderneming tembakau di Sumatera Timur susut jadi 114. Bahkan menjelang krisis ekonomi 1930-an—yang sering disebut oleh Bapak Proklamator Soekarno – Hatta sebagai “zaman meleset”— pada 1928 jumlah onderneming tembakau tercatat 72; saat krisis ekonomi 1931 tercatat turun menjadi 67; 1932 tercatat turun lagi jadi 61; dan pada 1934 – 1940 tinggal tersisa 45 onderneming tembakau. Fenomena yang sama tentu juga terjadi di Jawa.
Demikian terkenalnya komoditas tembakau Indonesia di dunia, sejak 1959 Indonesia juga telah menjalin kerja sama perdagangan dengan pasar lelang tembakau Bremen di Jerman. Tembakau Indonesia khususnya dari Sumatera menjadi primadona penggemar cerutu di Eropa. Kerjasama perdagangan melalui mekanisme lelang dimulai dengan pembentukan Tabak Börse, 1961. Dimulai sejak 1959 saat proses pelelangan tembakau hasil panen perkebunan di Indonesia harus dipindahkan dari Rotterdam, Belanda.
Indonesia bukan hanya menghasilkan tembakau berkualitas di tingkat dunia, hal lain menarik dicatat ialah munculnya prototipe industri nasional: kretek. Bagaimanapun, kretek ialah produk khas dan asli Indonesia yang secara spesifik berbeda dari rokok pada umumnya. Kretek, bukan hanya merupakan perpaduan dari beragam tembakau yang diracik menjadi satu, namun sekaligus juga diramu dengan cengkeh dan bahan rempah lainnya. Karekteristik cita rasa kretek yang khas benar-benar merajai pasar nasional dan nisbi jadi penghalang kuat masuknya produk rokok negara-negara lain.
Tak berlebihan kontribusi penerimaan negara di sektor ini, tercatat signifikan: tahun 2011 sebesar 73,25 trilyun; tahun 2012 sebesar 90,55 trilyun; tahun 2013 sebesar 103,56 trilyun; tahun 2014 sebesar 112,54 trilyun; tahun 2015 sebesar 123,2 trilyun; tahun 2016 sebesar 123,93 trilyun; tahun 2017 sebesar 145,48 trilyun; dan terakhir tahun 2018 diestimasi sebesar 148,23 trilyun.
Dilansir dari Natural News, Rabu (11/4/2018), sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Oxford University Press menunjukkan merokok menjadi salah satu faktor risiko gangguan pendengaran. Penelitian dilakukan pada lebih dari 50.000 partisipan selama delapan tahun.
Meski terbilang lama dan menggunakan ukuran sampel yang besar, peneliti dari National Center for Global Health and Medicine di Jepang, Huanhuan Hu mengungkapkan pentingnya mengontrol perilaku merokok guna menunda gangguan pendengaran. Para peneliti optimis akan hasil temuan tersebut.
Penelitian dilakukan dengan melihat data pemeriksaan kesehatan tahunan, melakukan pengujian menggunakan audio, dan memberikan kuesioner mengenai gaya hidup yang berhubungan dengan kesehatan. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan mengenai status perokok, jumlah rokok yang dikonsumsi dalam sehari, serta hubungan antara lama berhenti merokok dengan tingkat gangguan pendengaran.
Dari penelitian tersebut, peneliti menemukan para perokok memiliki risiko gangguan pendengaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok. Namun demikian, gangguan pendengaran tersebut akan berkurang dalam kurun waktu lima tahun setelah berhenti merokok.
Pada Senin (15/7/2019) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis rokok menempati posisi kedua setelah beras sebagai komoditas yang memberi pengaruh besar terhadap garis kemiskinan. Di perkotaan, rokok mengambil porsi hingga 12,22 persen terhadap penyebab kemiskinan, sedangkan beras mencapai 20,59 persen. Selain rokok, BPS juga merilis beberapa komoditas yang memiliki sumbangan besar terhadap kemiskinan, di antaranya beras, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir hingga tempe dan tahu. Beras memiliki andil sebesar 20,59% terhadap kemiskinan di perkotaan dan 25,97% di pedesaan. Kemudian diikuti rokok 12,22% (perkotaan) dan 11,36%, (perdesaan) telur ayam ras 4,26%, daging ayam ras 3,53%, dan mie instan 2,40%.
Pameran seni rupa bertajuk “Sense of Arttitude” berlangsung di Jogja Gallery Jalan Pekapalan No 7 Yogyakarta, 7-13 Maret 2020.
Film The Last Dance Pecahkan Rekor Box Office Hong Kong
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "The Last Dance", sebuah film drama berlatarkan rumah duka yang...