Pameran Pangan Lokal yang Hampir Hilang
MAKASSAR, SATUHARAPAN.COM - Sekilas terlihat seperti beras biasa, namun dari dekat terlihat butirannya sedikit lebih besar dan tak pipih seperti beras biasa. Namanya beras buleng. Konon beras ini hanya ada di kawasan Pegunungan Bowong Langi, yang ditinggali komunitas adat Pattalassang. Tepatnya di Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Beras buleng ini adalah satu dari sekian produk pangan yang dipamerkan dalam Makassar Green Food Festival 2015, yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, bekerja sama dengan Sawit Watch, di Benteng Rotterdam, Makassar, Sulsel, baru-baru ini.
Menurut Syarif Untung, petani yang membudidayakan jenis beras ini, alasan beras buleng tetap bertahan karena selama ini masih digunakan dalam ritual adat.
“Beras buleng ini harus ada dalam acara-acara ritual adat di kampung, selain jenis beras lain seperti ketan putih dan ketan merah, dan beberapa jenis beras lainnya,” katanya kepada mongabay.co.id, seperti dikutip walhi.or.id.
Tak banyak warga yang menanamnya karena proses pengolahan yang rumit. Dari sekitar 500 hektare sawah yang ada di Pattalassang, kini hanya sekitar dua hektare yang ditanami jenis beras ini.
“Tak banyak yang mau menanam, karena mesin gilingnya yang tak ada, harus dibawa dulu ke kampung lain yang jauh. Prosesnya juga sulit. Kalau beras mau dipisahkan dari tangkainya harus ditumbuk dulu, ditapis baru diolah pabrik,” kata Syarif.
Meski memiliki proses yang rumit dan langka, dengan cita rasa yang lebih baik dari beras biasa, harganya ternyata tak jauh beda dari beras biasa, yaitu Rp 8.000/liter. “Padahal beras ini rasanya jauh lebih enak, agak lembek dan bisa tahan hingga dua hari.”
Selain beras buleng dari Pattalassang, beberapa beras lokal juga dipamerkan. Ada beras kamba dari Kecamatan Rampi, salah satu daerah pegunungan yang hampir terisolasi di Kabupaten Luwu Utara, Sulsel.
Seperti halnya beras buleng, beras ini juga berwarna putih dengan bulir yang agak besar. “Ini beras yang paling enak dan juga wangi. Ini beras hanya ada di Rampi,” kata Nur Hasnah, salah seorang petani dari Rampi yang memamerkan beras ini.
Di Rampi sendiri, sebagian besar masyarakatnya masih menanam padi dari varietas lokal, ditanam secara organik tanpa pupuk kimiawi dan pestisida. Ada juga beras merah yang banyak dicari orang karena khasiatnya, khususnya pada anak-anak balita.
Hadir juga dalam pameran pangan itu adalah petani dari Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) Kabupaten Bulukumba, yang dalam dua tahun terakhir sukses mendorong pertanian organik.
Armin Salassa, salah satu pendiri KSPS, menjelaskan keanggotaan kelompoknya yang semakin meluas, dari awalnya hanya sekitar 70-an petani, kini sudah mencapai sekitar 1.000 petani, dengan hasil panen ratusan hektare. “Di Desa Salassae saja kita ada 400 petani yang komitmen organik dan ini bertambah terus.”
Terkait kegiatan ini, Armin melihatnya sebagai sebuah upaya untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan pangan dan petani.
“Kegiatan ini merupakan ruang membangun semangat kedaulatan. Kita lihat ada teman-teman dari NGO (LSM), petani, komunitas adat dan bahkan pemerintah. Ini adalah sebuah ruang yang diciptakan untuk menyambungkan persepsi dan pemahaman tentang kedaulatan pangan tersebut,” katanya.
Armin berharap keberadaan ruang ini bisa menjadi motivasi bagi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, untuk tetap berjuang untuk menegakkan kedaulatan pangan di daerah masing-masing.
Balang Institute dari Kabupaten Bantaeng, turut memamerkan produk pertanian olahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di lereng gunung Lompobattang, Bantaeng.
Terlihat ada beberapa jenis kopi yang sudah dikemas secara modern, madu hutan, dan kue-kue yang berasal dari umbi ganyong, yang tumbuh subur di sekitar hutan.
Kemeriahan kegiatan itu, dilengkapi dengan lomba masak menggunakan produk pangan lokal serta pameran foto.
Menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk mendorong agar pangan bisa terus dilindungi.
“Sebagaimana kita ketahui bersama, salah satu ancaman adalah perubahan alih fungsi lahan yang membuat lahan-lahan produktif menjadi hilang, sehingga berbagai varietas lokal pun terancam hilang,” katanya.
Menurutnya, keberadaan varietas lokal ini harus dilihat sebagai bagian dari identitas daerah yang harus terus dipertahankan keberadaannya.
“Kita juga sangat mendukung upaya teman-teman dari Federasi Petani Sulsel yang kini sedang mengembangkan model pertanian alami yang ramah lingkungan, atau bagaimana masyarakat adat di Rampi dan Patalassang yang tetap konsisten mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Cukup banyak masyarakat yang tetap mempertahankan keberadaan varietas lokal ini.”
Asmar selanjutnya menyatakan, tekad Walhi untuk bersinergi dengan berbagai program pemerintah yang terkait dengan ketahanan pangan, yang dianggap bisa berdampak pada perlindungan ketahanan pangan di masa yang akan datang.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...