Partai Demokrat Korban Monopoli Media
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menilai bahwa salah satu pemicu merosotnya perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2014 adalah pembentukan informasi yang dimonopoli oleh penguasa media.
"Presiden SBY tak lagi bisa mencalonkan diri di Pilpres 2014, mengakibatkan perhatian publik, lembaga survei, dan media lebih tertuju ke tokoh-tokoh lain," kata peneliti LIPI Siti Zuhro.
Sementara itu, juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, juga mengatakan bahwa merosotnya perolehan suara PPD akibat monopoli media yang dimiliki oleh segelintir orang. "Kami Partai Demokrat, korban monopoli yang dilakukan penguasa media massa," kata dia di Jakarta, Selasa, seperti dikutip Antara.
Menurut Zuhro, selain monopoli media, juga karena adanya kasus korupsi yang mendera elite-elite utama partai dan kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pimpinan SBY yang kurang fenomenal, karena isu kepemimpinan dan juga program-program yang acapkali tersandera oleh kekuatan DPR.
Menurut dia, pembentukan informasi yang dimonopoli oleh segelintir penguasa media, namun pemerintah membiarkan begitu saja, padahal jelas-jelas melanggar UU Penyiaran.
Pemberitaan masif oleh lawan politik tentang korupsi yang dilakukan para kader Partai Demokrat dan ini akibat ketidaktegasan SBY menindak para penguasa media yang melakukan monopoli dan pemindahan frekuensi televisi seenaknya.
"Untuk menghentikan monopoli media. Inilah saatnya Presiden SBY melakukan penegakan hukum secara maksimal, menghukum para pemilik media yang melakukan praktik monopoli," kata dia.
Jika Presiden SBY menegakkan UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, maka tidak akan ada monopoli media yang berdampak pada anjloknya elektabilitas PD, kata dia menambhakan.
Sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) segera melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang putusan uji materi UU No 32/2009 tentang Penyiaran.
MK dalam keputusannya memerintahkan pemerintah (Kemkominfo) dan KPI segera menertibkan praktik monopoli dan mengalihkan penguasaan frekuensi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang dilakukan oleh perseorangan atau satu badan hukum.
Keputusan MK ini terkait gugatan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) atas kasus praktik monopoli dan pemindahatangan frekwensi, seperti pada kasus akuisisi PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) terhadap PT Indosiar Visual Mandiri pemilik brand Indosiar. Padahal EMTK telah memiliki brand SCTV dan O Channel di satu provinsi yaikni DKI Jakarta.
UU Penyiaran dengan tegas melarang kepemilikan lebih dari satu frekwensi di satu provinsi. UU itu hanya membolehkan kepemilikan dua frekuensi tetapi di dua provinsi yang berbeda.
MK juga memerintahkan pemerintah menelusuri besaran kepemilikan saham lembaga penyiaran swasta, yang telah melakukan praktik monopoli dan pengalihan penguasaan frekuensi. Praktik-praktik seperti ini, menurut MK, bukan masalah konstitusi, melainkan karena gagalnya pemerintah menjalankan UU Penyiaran.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...