Partai Oposisi Tunisia Menolak Usulan Dialog Ennahdha
TUNIS TUNISIA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah partai oposisi terkemuka menolak seruan konsensus baru pemerintah atau referendum dari Pemimpin Ennahdha, Rachid Ghannouchi.
Partai politik telah menemui jalan buntu selama dua minggu terakhir setelah sejumlah anggota oposisi dari Majelis Konstituante menarik diri dari majelis setelah pembunuhan anggota oposisi al Majlis al Watani at Ta’sisi (Majelis Konstitusi Nasional), Mohamed Brahmi, pada tanggal 25 Juli.
Demonstrasi malam besar-besaran membawa demonstrans anti pemerintah dan pro pemerintah ke jalan-jalan. Demonstran oposisi menyerukan pembentukan "pemerintah keselamatan nasional" teknokratis untuk menyelesaikan penyusunan konstitusi dan mempersiapkan diri untuk pemilu baru.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters kemarin, Rachid Ghannouchi mengatakan Ennahdha siap untuk berbicara dengan Nidaa Tounes, partai oposisi utama. Dia juga mengatakan bahwa Nidaa Tounes dapat dimasukkan dalam konsensus pemerintahan yang direformasi.
Rached Ghannouchi juga membawa tawaran pelaksanaan referendum jika oposisi bersikeras mengakhiri proses transisi. Tetapi tidak ada kejelasan apakah referendum akan mengatasi krisis politik negara itu.
Juru bicara Nidaa Tounes, Lazher Akermi, mengatakan pada Tunisia Live bahwa partainya menolak undangan Ghannouchi untuk berdialog.
Dia juga menolak gagasan referendum nasional. Dia mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dilakukan karena Tunisia tidak lagi mempercayai pemerintah saat ini yang terus mengatur suara seperti itu.
Akermi berpendapat bahwa satu-satunya usulsn yang akan diterima partainya adalah
pelaksanaan referendum menyangkut ratifikasi konstitusi, diikuti pembubaran pemerintah dan diganti dengan pemerintah keselamatan nasional.
Zoubeir Chehoudi, seorang anggota Dewan Syura Ennahdha, badan yang menentukan arah kebijakan partai, menegaskan bahwa perundingan antara Ennahdha dan oposisi sebenarnya sudah terjadi. Menurut Zoubeir Chehoudi, mereka tidak berunding langsung tetapi sedang dilakukan melalui mediator pada saat ini.
Dua ahli yang diwawancarai Tunisia Live menyatakan bahwa gagasan referendum nasional untuk menyelesaikan krisis politik mssih bermasalah.
Radwan Masmoudi, presiden Pusat Studi Islam dan Demokrasi yang berbasis di Amerika Serikat percaya bahwa meskipun konsep itu mungkin sah secara hukum, tetapi hal itu bertentangan dengan tujuan pemilu baru akhir tahun 2013.
"Dari sisi demokrasi dan hukum, referendum adalah gagasan kredibel, tetapi dalam jangka waktu pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada trimester terakhir tahun ini," katanya.
Referendum merupakan bentuk pemilihan yang harus dipantau Dewan Pemilu Independen baru yang terpilih, kata Masmoudi. Dan hal itu juga membutuhkan tiga sampai empat bulan persiapan.
Ahli Hukum Tata Negara, Ghazi Ghrairi, setuju dengan Masmoudi. "Referendum dengan demikian akan berarti, karena ada pemilu" yang sudah dijadwalkan berlangsung pada bulan Desember, tegasnya.
"Perlu dicatat bahwa referendum membutuhkan syarat peraturan yang dibutuhkan pada setiap pemilu," katanya. "Akibatnya, referendum tidak dapat diselenggarakan karena tidak adanya Dewan Pemilu Independen."
Dia menekankan bahwa proses pengorganisasian referendum tidak akan berlangsung lebih cepat dari sekadar menyelenggarakan pemilu baru.
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...