Pasar Properti Diperkirakan Bangkit 2016
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pasar properti di Indonesia diperkirakan baru benar-benar bangkit pada 2016 setelah pada 2015 ini dinilai merupakan titik terendah pasar properti.
"Dengan melihat pergerakan yang terjadi seharusnya paling lambat di akhir tahun 2016, pasar properti akan kembali bangkit dari keterpurukan selama 2014-2015, khususnya di segmen menengah," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Rabu (25/3).
Indonesia Property Watch sebelumnya memprediksi bahwa siklus properti tertinggi terjadi antara tahun 2013 dan melambat memasuki 2014.
Sedangkan 2015 ini, ujar dia, merupakan titik terendah pasar properti dengan tren melambat sepanjang tahun 2014.
"Sepanjang tahun 2014 pasar properti mengalami penurunan 72 persen year on year. Beberapa pengembang melakukan konsolidasi untuk bersiap-siap memasuki fase baru siklus properti ke depan," katanya.
Ia berpendapat beberapa kondisi ekonomi dan politik masih membayangi kualitas penjualan pasar properti saat ini, meski kondisi anjloknya rupiah dinilai masih jauh dari krisis.
Saat ini, ujar dia, yang terjadi hanyalah sebuah siklus turun naik yang secara alamiah akan terjadi dalam ekonomi sebuah negara, pun dalam bisnis properti.
"Kondisi yang terjadi saat ini dalam siklus pasar properti menunjukkan bahwa tahun 2015 merupakan titik terendah pasar properti," jelas Ali Tranghanda.
Sedangkan di segmen menengah atas, isu pajak masih menjadi momok kaum investor menyusul beberapa isu pajak yang masih belum diputuskan pemerintah.
Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat Indonesia Property Watch menginginkan pemerintah untuk memikirkan secara mendalam terkait wacana pemberlakuan pajak properti baru sehingga tidak memberatkan banyak warga masyarakat.
"Bagaimana pemerintah bisa menentukan batasan harga mewah sedangkan saat ini pemerintah sendiri belum ada standar mengenai hal tersebut. Apakah Rp 2 miliar saat ini barang mewah. Itu yang harus dijawab pemerintah sebelum membuat kebijakan," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Selasa (17/3).
Ali menjelaskan, selama ini memang pemerintah melalui Kementerian Keuangan belum mempunyai standar batasan harga berapa yang dimaksud barang mewah.
Ironisnya, ujar dia, dengan laju inflasi seharusnya kategori barang mewah yang dulu misalkan Rp 5 miliar, saat ini seharusnya menjadi lebih dari Rp 5 miliar, bukannya menjadi lebih rendah.
"Ini salah satu faktor yang dirasakan tidak `fair` (adil) oleh para pelaku bisnis properti. Jadi bila nanti ditentukan standar harga mewah itu Rp 2 miliar, maka pemerintah seakan-akan hanya mematok pajak tanpa memahami bisnis properti yang ada saat ini sehingga sangat dikhawatirkan pasar akan menolak dan secara bisnis tidak kondusif," katanya.
Untuk itu, Indonesia Property Watch mendukung penerimaan pajak untuk membangun negeri ini, namun tentunya dengan standar dan dasar yang tidak dibuat-buat dan selalu mengedepankan azas keadilan dan kewajaran. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...