Pasukan Rusia Dilaporkan Deportasi Paksa Warga Kota Mariupol ke Rusia
MARIUPOL, SATUHARAPAN.COM-Ada laporan dari Dewan Kota Mariupol bahwa ribuan penduduk kota Mariupol, kota pelabuhan Ukraina, yang terkepung telah dideportasi secara paksa ke Rusia.
Berbicara di "State of the Union" CNN, Duta besar Amer4ika Serikat untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield mengatakan AS belum mengkonfirmasi tuduhan yang dibuat pada hari Sabtu (19/3) oleh dewan kota Mariupol melalui saluran Telegramnya.
Ini sangat "mengganggu" dan "tidak masuk akal" jika benar, kata duta besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield pada hari Minggu (20/3).
“Aku baru mendengarnya. Saya belum bisa memastikannya,” katanya. “Tapi saya bisa bilang itu mengganggu. Tidak masuk akal bagi Rusia untuk memaksa warga Ukraina masuk ke Rusia dan menempatkan mereka di tempat yang pada dasarnya akan menjadi kamp konsentrasi dan tahanan.”
Rusia meluncurkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada 24 Februari, memicu konflik yang telah menyebabkan lebih dari 900 kematian warga sipil dan hampir 1.500 cedera pada 19 Maret, menurut kantor hak asasi manusia PBB.
Mariupol, koneksi utama ke Laut Hitam, telah menjadi target sejak awal perang, yang oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, disebut sebagai "operasi militer khusus" untuk mendemiliterisasi dan "mendenazifikasi" Ukraina. Ukraina dan Barat mengatakan Putin melancarkan perang agresi yang tidak beralasan.
Rusia Bom Sekolah Seni
Dewan kota Mariupol juga mengatakan pasukan Rusia membom sebuah sekolah seni pada hari Sabtu di mana 400 warga telah berlindung, tetapi jumlah korban belum diketahui.
Reuters tidak dapat secara independen memverifikasi klaim dewan kota. Rusia membantah menargetkan warga sipil. Kedutaan Besar Rusia di Washington tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, pada Sabtu menyerukan pembicaraan damai komprehensif dengan Moskow.
AS mendukung upaya itu, Thomas-Greenfield mengatakan pada hari Minggu, menambahkan bahwa negosiasi "tampaknya sepihak," dengan sedikit tanggapan dari Rusia.
Polandia secara resmi akan mengajukan proposal untuk misi penjaga perdamaian di Ukraina pada pertemuan puncak berikutnya dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Perdana Menteri Polandia, Mateusz Morawiecki, mengatakan pada hari Jumat.
Ketika ditanya tentang proposal Polandia, Thomas-Greenfield menegaskan kembali komitmen Presiden Joe Biden untuk menahan diri dari mengirim pasukan AS ke Ukraina.
"Negara-negara NATO lainnya mungkin memutuskan bahwa mereka ingin menempatkan pasukan di dalam Ukraina," katanya. "Itu akan menjadi keputusan yang harus mereka buat."
Turki juga berusaha menengahi gencatan senjata di Ukraina, yang dipuji oleh Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, selama wawancara pada hari Minggu di "Meet the Press" NBC.
“Turki sedang melakukan upaya nyata untuk mencoba memfasilitasi, mendukung pembicaraan antara Rusia dan Ukraina,” kata Stoltenberg. “Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah pembicaraan ini dapat mengarah pada hasil yang konkret.”
Awal bulan ini, NATO menolak seruan Ukraina untuk membentuk "zona larangan terbang" di atas Ukraina untuk membantu melindungi langitnya dari rudal dan pesawat tempur Rusia.
Ketika ditanya apakah zona larangan terbang akan dipertimbangkan jika Rusia menggunakan senjata kimia di Ukraina, Stoltenberg mengemukakan kekhawatiran bahwa langkah seperti itu dapat meningkatkan konflik.
“Sekutu kami mendukung Ukraina,” katanya. “Tetapi pada saat yang sama sangat penting kita mencegah konflik ini menjadi perang penuh antara NATO dan Rusia yang akan menyebabkan lebih banyak kerusakan, lebih banyak kematian, kehancuran daripada apa yang kita lihat sekarang di Ukraina.” (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...