Paus: Gereja Harus Perlakukan Baik Umat Katolik yang Bercerai
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - “Umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi patut mendapat perlakuan lebih baik dari gereja,“ kata Paus Fransiskus kepada para pastor pada hari Rabu (5/8).
Paus Fransiskus menambahkan, pasangan-pasangan itu harus diperlakukan dengan belas kasihan, dan tidak dikucilkan.
Menurut ajaran gereja, umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi, hidup dalam dosa, karena pernikahan pertama mereka masih berlaku di mata gereja, dan orang-orang itu tidak diperbolehkan menerima komuni suci.
Penekanan Paus Fransiskus pada belas kasihan, dalam kepemimpinan gereja, telah menimbulkan harapan di kalangan banyak umat Katolik, yang berharap ia akan mencabut larangan menerima komuni, yang dianggap perlu untuk berpartisipasi penuh dalam komunitas Katolik.
Meskipun komentarnya tentang perceraian tidak menyinggung hal itu, Paus Fransiskus memang mengatakan, gereja harus mengubah sikapnya terhadap orang-orang yang merasa dijauhkan.
"Dia ingin gereja memberikan perawatan psikologi pada pasangan bercerai dan menikah lagi," kata Phillip Thompson, direktur eksekutif dari Pusat Aquinas of Theology di Emory University di Atlanta, Amerika Serikat. "Tapi itu tidak mengatasi masalah yang sebenarnya, jalan ke depan bagi umat Katolik yang ingin masuk ke dalam persekutuan penuh dengan gereja."
Paus, berbicara pada audiensi umum mingguannya di Vatikan, menggarisbawahi ajaran Katolik pada umat Katolik yang bercerai yang menikah lagi tanpa pembatalan, dengan mengatakan, "Gereja tahu benar bahwa situasi seperti itu bertentangan dengan sakramen Kristen." Tetapi, dia menekankan, "orang-orang ini sama sekali tidak dikucilkan. Mereka selalu milik gereja," kata Paus. Gereja, kata dia, harus menjadi salah satu "pintu terbuka".
Paus Fransiskus memuji pastor yang telah menunjukkan "penerimaan persaudaraan dan penuh perhatian" untuk pasangan tersebut. Anak-anak, terutama, akan rusak, jika mereka melihat orang tua mereka dikucilkan dari gereja.
"Bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang mengalami kegagalan dalam ikatan perkawinan mereka, dan melakukan perkawinan baru?" Paus mengajukan pertanyaan itu dalam pertemuan umum pada hari Rabu (5/8).
Paus Fransiskus mengatakan, gereja harus menemukan cara untuk memberikan "sambutan nyata" kepada umat Katolik yang telah menemukan kebahagiaan dalam pernikahan kedua, setelah perkawinan pertama mereka gagal.
"Orang-orang ini jelas tidak dikucilkan. Mereka seharusnya tidak diperlakukan seperti selama ini," katanya, "Mereka selalu menjadi anggota gereja."
Masalah mengenai bagaimana gereja memperlakukan warga Katolik yang bercerai, mungkin menjadi isu besar dalam pertemuan para uskup dunia di Vatikan pada Oktober nanti.
Paus juga mendesak para pastor agar menyambut anak-anak warga Katolik yang bercerai itu.
"Anak-anak itu paling menderita dalam situasi ini. Bagaimana kita dapat mendorong para orang tua anak-anak ini untuk melakukan segalanya dalam membesarkan anak-anak mereka dalam kehidupan Kristen, kalau kita terus menjauhkan mereka dari kehidupan masyarakat seolah-olah mereka telah dikucilkan?" katanya.
Paus Fransiskus mengatakan, anak-anak sering menanggung "beban tambahan" karena dibuat merasa seperti orang buangan di paroki-paroki setempat, karena orang tua mereka bercerai. "Sayangnya, jumlah anak-anak dan pemuda ini sangat banyak," katanya.
James Hitchcock, penulis Katolik dan Modernitas, Konfrontasi atau Kapitulasi, mengatakan pernyataan Paus menunjukkan ia bukan seorang pemikir yang sistematis, ia mengikuti hatinya. "Saya pikir dia mengatakan hal-hal dengan cara yang menurutnya akan menginspirasi atau membantu kehidupan warga yang dikucilkan tersebut," kata Hitchcock.
Dennis Doyle, teolog di Universitas Dayton, sekolah Marianis di Ohio, mengatakan tidak mungkin untuk menyimpulkan dari pernyataan Paus apakah perubahan akan muncul pada pertemuan Oktober mendatang. "Dengan berbicara begitu jelas, Paus Fransiskus ingin mendiskusikan bagaimana mengatasi masalah itu dengan segera, karena sudah mendesak dan perlu,“ kata Doyle.
Hampir setengah dari total kasus pembatalan perkawinan di dunia pada tahun 2012 berasal dari Amerika Serikat, menurut Pusat Penelitian Terapan di Kerasulan di Georgetown University, dan jumlah pernikahan yang dirayakan di gereja pun menurun.
"Dia mengatakan, kita harus melihat ini melalui mata anak-anak kecil," kata Doyle. "Dia ingin situasi ini ditangani dengan cara pastoral yang terbuka dan ramah.” (voaindonesia.com/startribune.com)
Editor : Sotyati
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...