PBB: Kehamilan pada Remaja Merupakan Masalah HAM
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyoroti masalah kehamilan pada remaja, dan menyerukan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah untuk mengaktifkan kaum perempuan untuk membuat pilihan hidup yang bertanggung jawab dan menyadari potensi mereka.
Pernyataan PBB itu berkaitan dengan hari kependudukan pada Kamis (11/7) lalu. Menurut data PBB, sekarang ini ada sekitar 16 juta anak perempuan di bawah usia 18 yang melahirkan setiap tahun. Dana PBB untuk Program Kependudukan (UNFPA) mencatat sekitar 3,2 juta di antaranya menjalani aborsi seara tidak aman.
Disebutkan bahwa sebagian besar (90 persen) dari remaja yang hamil itu ada di negara berkembang, dan mereka sudah menikah. Tapi terlalu banyak gadis yang hamil itu tidak mempunyai informasi yang memadai untuk melakukan pilihan itu.
Oleh karena itu, lembaga ini mencurahkan perhatian pada pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan bagi remaja perempuan. Mereka adalah kekuatan yang besar untuk perubahan positif dalam masyarakat, dan yang akan berdampak bagi generasi yang akan datang.
UNFPA menunjukkan bahwa kehamilan remaja adalah masalah kesehatan. Ibu muda menghadapi risiko tinggi dan komplikasi yang bisa berakibat kematian dan cacat, termasuk fistula obstetrik. Anak-anak mereka menghadapi risiko yang lebih tinggi lagi.
Lembaga itu melihat masalah bukan sekadar masalah kesehatan. Hal ini juga merupakan masalah hak asasi manusia. Kehamilan remaja sering berarti mengakhiri secara mendadak masa kanak-kanak, dibatasinya pendidikan, dan banyak kesempatan yang hilang.
"Topik ini sensitif dan menuntut perhatian global," kata Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon. Untuk mengatasinya PBB menekankan perlunya anak perempuan mendapatkan pendidikan dasar yang memungkinkan mereka bersekolah selama masa remaja mereka.
"Ketika seorang gadis muda yang berpendidikan, ia lebih cenderung untuk menunda menikah, menunda melahirkan anak sampai dia siap. Dengan demikian, mereka memiliki anak yang sehat, dan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi," tegasnya.
Direktur Eksekutif UNFPA, Babatunde Osotimehin, bahkan menyatakan bahwa kehamilan remaja juga menjadi masalah pembangunan. "Hal ini berakar dalam kemiskinan, ketidaksetaraan jender, kekerasan, anak dan kawin paksa, ketidak-seimbangan kekuasaan antara remaja perempuan dan laki-laki pasangan mereka, kurangnya pendidikan, dan kegagalan sistem dan institusi untuk melindungi hak-hak mereka," katanya.
"Memutus siklus kehamilan remaja membutuhkan komitmen dari negara-negara, masyarakat dan individu di negara maju dan berkembang untuk berinvestasi pada remaja putri,” katanya. Pemerintah harus memberlakukan dan menegakkan hukum nasional yang menaikkan usia pernikahan sampai 18 dan harus mempromosikan upaya-upaya berbasis masyarakat yang hak asasi, dan memeri dukungan pada remaja perempuan mencegah perkawinan anak-anak.
"Kami menyerukan pemerintah, masyarakat internasional dan semua pihak untuk mengambil langkah yang memungkinkan gadis remaja membuat pilihan-pilihan hidup yang bertanggung jawab. Dan juga memberikan dukungan pada mereka dalam kasus ketika hak-hak mereka terancam," kata Osotimehin.
"Setiap gadis muda, terlepas dari mana dia tinggal, atau keadaan ekonominya, memiliki hak untuk memenuhi potensi manusianya,” tegasnya.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...