PBB Pindahkan Staf dari Sudan Selatan Akibat Konflik Bersenjata
JUBA, SATUHARAPAN.COM - Misi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Sudan Selatan memutuskan untuk menarik staf PBB dari ibu kota, Juba, terkait meningkatnya ketegangan dan bentrokan bersenjata antara faksi-faksi militer di Sudan Selatan.
Sementara itu, dari Manila, Sekretaris PBB, Ban Ki-moon mendesak para pemimpin politik dan militer Sudan Selatan untuk mengakhiri semua permusuhan dan serangan yang menargetkan warga sipil.
Misi PBB di negara itu, UNMISS, mengumumkan bahwa pemindahan staf PBB dilakukan untuk mencegah dan mengurangi tekanan akibat sumber daya yang terbatas. Para staf itu dikirim ke Entebbe di negeri tetangganya, Uganda.
Misi ini berencana untuk memperkuat kehadiran militernya di wilayah Bor dan Pariang untuk memenuhi mandatnya dalam membantu melindungi warga sipil Sudan Selatan.
"Kami tidak meninggalkan Sudan Selatan. Kami di sini untuk tinggal, dan bertekad bekerja bersama dengan dan untuk rakyat Sudan Selatan," kata Utusan Khusus PBB dan UNMISS untuk Sudan Selatan, Hilde Johnson.
Keputusan untuk merelokasi beberapa staf dilakukan tiga hari setelah basis UNMISS di Akobo, di negara bagian Jonglei yang bergolak, diserbu oleh sekitar 2.000 penyerang bersenjata dalam serangan yang menewaskan sekitar 20 warga sipil dari etnis Dinka. Dua penjaga perdamaian PBB juga meninggal dalam serangan itu, selain beberapa terluka.
Setelah serangan itu, para penyerang yang merupakan kelompok etnis Lour Nuer, melarikan diri dengan membawa senjata, amunisi dan perlengkapan lainnya. "Untuk siapa saja yang ingin mengancam kami, menyerang kami atau menempatkan rintangan di jalankami, pesan kami tetap keras dan jelas: kami tidak akan terintimidasi," kata Johnson.
Hentikan Kekerasan
Selain itu, UNMISS terus memberikan bantuan dan perlindungan bagi lebih dari 20.000 warga sipil yang mengungsi di ibu kota negara Sudan Selatan.
Mengenai memburuknya situasi keamanan, Sekjen PBB, Ban Ki –moon, mendesak semua pemimpin politik, militer dan milisi menghentikan permusuhan dan mengakhiri kekerasan terhadap warga sipil.
"Saya menyerukan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir, dan pemimpin politik oposisi, termasuk mantan Wakil Presiden, Riek Machar, datang ke meja perundingan untuk menemukan jalan keluar dari krisis politik ini,” kata dia dari Manila, Filipina, di tengah-tengah kegiatan mengunjungi korban Topan Haiya di negara itu.
Bentrokan mematikan meningkat di negara itu sejak akhir pekan lalu sebagai buntut kusdeta terhadap pemerintah Presiden Kiir oleh tentara yang setia kepada mantan Wakil Presiden, yang dipecat pada bulan Juli. (un.org)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...