PBB Soroti Kesulitan Hidup Pengungsi Perempuan Suriah
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM - Ribuan pengungsi perempuan Suriah terjebak dalam "lingkaran kesulitan hidup, isolasi, dan kecemasan", menjadi janda atau terpisah dari suami-suami mereka serta berjuang untuk bertahan hidup, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa (8/7).
Dalam laporan terbarunya, Badan PBB untuk pengungsi, UNHCR, menyoroti nasib sekitar 145.000 pengungsi perempuan Suriah yang harus menjaga diri dan keluarga mereka dalam kondisi mengenaskan di seluruh Timur Tengah.
"Terpaksa memikul sendiri tanggung jawab atas keluarga mereka setelah pasangan mereka dibunuh, ditangkap, atau terpisah. Mereka terjebak dalam lingkaran kesulitan hidup, isolasi, dan kecemasan," demikian laporan tersebut.
Kesulitan utama adalah kurangnya sumber daya. Sebagian besar pengungsi harus berjuang untuk membayar sewa rumah dan membeli makanan, sehingga mereka harus menjual harta benda termasuk cincin kawin, serta menyuruh anak-anak bekerja.
Sebagian besar pengungsi tidak bisa bekerja karena merekalah satu-satunya yang menjaga anak-anak, dan sepertiga dari 135 perempuan yang disurvei oleh UNHCR di Yordania, Lebanon, dan Mesir mengatakan tidak punya cukup makanan.
Seorang perempuan yang diwawancarai di Kairo mengatakan tidak akan makan sebelum cucu perempuannya kenyang.
"Saya sudah cukup gembira bisa makan sepotong roti untuk memastikan mereka mendapat makanan cukup," katanya.
Banyak di antara pengungsi yang diwawancarai mengatakan menerima kupon makan dari Badan Pangan Dunia (WFP), namun beberapa di antara mereka menjual kupon itu untuk membayar sewa dan biaya-biaya lain.
Hidup tanpa lelaki juga menyebabkan banyak perempuan itu yang menjadi korban pelecehan, kata laporan itu.
Seorang perempuan yang tinggal di apartemen di Lebanon menyebutkan "pelecehan verbal" sering kali diterimanya dari lelaki setempat.
Seorang perempuan lain yang tinggal di sebuah tenda di luar Tripoli, kota utara Lebanon, mengatakan seorang lelaki datang ke tendanya dan mencoba membujuk agar dia mau bersama lelaki itu. Ia mengusir lelaki itu keluar dan pindah ke tenda lain, namun kemudian terjebak dalam baku tembak di Tripoli sehingga membuat anak-anaknya ketakutan.
Sebuah kelompok bantuan membantunya pindah ke sebuah rumah dan membayar sewa selama tiga bulan untuknya.
Kekurangan uang juga membuat para perempuan itu mengambil pilihan sulit terkait pendidikan dan layanan kesehatan. Banyak di antaranya tidak mampu membiayai pendidikan untuk anak-anaknya atau untuk membayar pengobatan.
PBB Mendesak Donor
Laporan itu mendesak pemerintah tuan rumah untuk tetap membuka perbatasan dan mengurangi pembatasan masuknya pengungsi perempuan itu, dengan menekankan satu dari lima perempuan terpisah dari suami mereka karena masalah visa dan masalah-masalah terkait lain.
PBB mengimbau kelompok pemberi bantuan untuk mempertimbangkan tantangan bagi pengungsi perempuan serta memastikan mereka terlindungi dan memberikan dukungan bagi masyarakat yang menjadi tuan rumah.
Laporan itu juga mendesak donor dan masyarakat untuk meningkatkan pendanaan ke badan-badan yang membantu pengungsi Suriah, mengingat Suriah menghadapi krisis pengungsian terbesar di dunia.
Setidaknya 2,8 juta warga Suriah menghindar dari konflik yang mulai pecah sejak Maret 2011, dengan lebih dari satu juta mengungsi di negara tetangga Lebanon. Lainnya mengungsi ke Yordania, Mesir, Turki, dan Irak, yang semuanya juga tengah berjuang mengatasi arus masuk pendatang.
PBB secara rutin meminta tambahan dana untuk membantu pengungsi yang menghindari konflik, yang diperkirakan telah menelan korban lebih dari 162.000 jiwa itu. (AFP/Ant)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...