PBNU: Pengukuhan Hari Santri Secara Nasional Muncul dari Ormas
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengatakan sejak beberapa tahun terakhir kehendak untuk mengukuhkan Hari Santri pada 22 Oktober secara nasional muncul di mana-mana.
Menurut Said, dari tingkat akar rumput, dengan berbagai cara pengungkapan dan salurannya, ada begitu banyak prakarsa yang mencerminkan kuatnya kehendak pengukuhan Hari Santri tersebut. Sementara itu, pada tingkat nasional wacana Hari Santri mengemuka dari banyak pernyataan tokoh-tokoh, pejabat publik, forum diskusi, dan peliputan media massa.
“Secara khusus, sejumlah organisasi masyarakat yang terhimpun dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) bersama-sama menyepakati pentingnya pengukuhan Hari Santri,” kata Said Aqil dalam konferensi pers dengan tema “ Menyambut Hari Santri 22 Oktober” di Gedung PBNU lanta 8 Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, hari Selasa (6/10).
Said mengatakan ormas-ormas yang mendukung, adalah Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam Indonesia (SII), Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad Al Islamiyyah, Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi), Azzikra, Al Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Persatuan Umat Islam (PUI).
Beriringan dengan itu, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Agama juga mengadakan persiapan untuk menyongsong peringatan Hari Santri.
Mengapa Hari Santri?
KH Said Aqil Siradj menilai di sepanjang jalur kesejarahannya, keutuhan Indonesia berkali-kali diuji, dalam tiap ujian itu santri selalu hadir menjaminkan diri untuk mengawal keutuhan tersebut.
“Jauh sebelumnya diproklamasikan, bagi santri, Indonesia atau Nusantara merupakan tanah air yang wajib dibela, tidak sempurna keimanan seseorang, hingga ia mencintai tanah airnya. Kesadaran bertanah air ini hidup melalui jaringan pengetahuan dan gerakan yang tersebar di seantero pulau dengan masjid, pondok pesantren, dan tarekat sebagai simpul-simpul utamanya,” kata dia.
Dalam kenyataan, kata Said, santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar Muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian itu, segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi setimen kelompok.
“Membela tanah air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu yang secara spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara empiris dikerjakan. Kenyataan yang demikian ini terus menerus meluas dalam ruang dan memanjang dalam waktu, sebab kesadaran bertanah air diungkapkan di banyak tempat dengan ekspresi yang sangat beragam, memanjang dalam waktu karena terdapat mata rantai pengetahuan dan tradisi yang terus menerus bersambung,” kata dia.
“Hari Santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama sebagai penghormatan atas pahlawan, pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya. Kedua sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di Indonesia tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen keindonesiaan,” dia menambahkan.
Mengapa 22 Oktober?
KH Said Aqil Siradj menjelaskan, 22 Oktober tersebut Hari Santri bukan sebatas hari orang Islam. Hari Santri ialah hari orang Indonesia yang beragama Islam, karenanya Hari Santri bukan sejenis hari raya yang bisa diperingati secara universal di seluruh dunia.
“Sudah semestinya momen yang dipilih merepresentasikan substansi kesatrian, yakni sprititualitas dan patriotisme. Dalam konteks global, substansi ini merupakan anugrah yang belum tentu dimiliki umat Islam di belahan bumi lain,” kata dia.
“Dari sejumlah aspirasi yang berkembang selama ini, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan pilihan yang paling mewakili substansi tersebut, Inilah tanggal ketika Mahaguru Kiai Hasyim Asyari mengumumkan fatwanya yang masyhur yang disebut sebagai Resolusi Jihad,” dia menambahkan.
Menurut Said, Resolusi jihad lahir melalui masyawarah ratusan kiai dari berbagai daerah di Indonesia untuk merespons agresi Belanda yang kedua. Resolusi jihad memuat seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Fatwa ini menyerukan bahwa setiap Muslim wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
“Pejuang yang mati dalam medan perang kemerdekaan disebut syuhada, dan warga negara Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan dan harus dihukum mati,” kata dia.
Dalam situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan tanah air bernilai fardlu ain (wajib secara perseorangan) dan kehilangan nyawa akibat daripadanya merupakan syahid.
“Berbeda dengan pihak-pihak yang menggunakan doktrin jihad sebagai dasar aksi teror, jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran bertanah air. Tanah air bagi santri adalah urusan hidup mati,” katanya.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...