Pdt Arnold A Abbas: Merah Putih di Garda Terdepan NKRI
SATUHARAPAN.COM – Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober, dijadikan momentum menggelorakan semangat persatuan dan kesatuan di antara pemuda, serta masyarakat pada umumnya, dengan berbagai kegiatan, di wilayah Sangihe-Talaud.
Para pemuda di wilayah kepulauan yang dekat dengan Mindanao, Filipina itu, membangun semangat solidaritas dan nasionalisme dengan menggelar olahraga dan kesenian, terutama kesenian daerah, untuk mengangkat nilai-nilai luhur (kearifan lokal), termasuk mengembangkan makanan-makanan khas daerah (kuliner) setempat.
“Di desa-desa, kampung-kampung, terutama dalam momen-momen memperingati hari-hari nasional, termasuk peringatan Hari Sumpah Pemuda, bendera Merah Putih tetap berkibar,” Pdt Arnold Apolos Abbas dari Gereja Masehi Injili di Talaud (Germita) menceritakan kepada satuharapan.com, belum lama ini, ”Kecuali di Pulau Miangas. Di samping bendera Merah Putih, juga berkibar bendera negara tetangga Filipina, karena Miangas adalah wilayah BCA (Border Crossing Agreement, Pos Lintas Batas Indonesia – Filipina), demikian juga Pulau Marore, masuk BCA.”
Dikaitkan dengan semangat nasionalisme, Pdt Abbas menilai hingga saat ini warga di Sangihe-Talaud tetap setia sebagai bagian integral dari NKRI.
Warga di Kepulauan Sangihe dan Talaud, bahkan selama ini boleh dikata telah menjadi "penjaga dan pengawal" setia NKRI di daerah perbatasan.
Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud terletak di ujung utara Sulawesi. Pada tahun 2002, menurut wikipedia.org, Kabupaten Kepulauan Sangihe dimekarkan (pada saat itu masih Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud) menjadi dua kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002, yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Pemekaran kembali dilakukan di Kabupaten Induk (Kabupaten Sangihe) menjadi Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) pada Tahun 2007 sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tanggal 2 Januari 2007
Ubah Paradigma: Garda Terdepan NKRI
Bukan selalu mulus, memang, untuk mempertahankan semangat nasionalisme itu. Pdt Abbas mengisahkan karena ada persoalan pada Pilkada 2013, pernah terjadi sekelompok warga mengibarkan bendera Filipina. Sebelum itu, di Miangas, warga ramai-ramai mengibarkan bendera Filipina karena persoalan kekerasan (pemukulan) yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi) terhadap sekretaris desa. “Syukur masalah-masalah seperti itu dapat diselesaikan,” katanya.
Walaupun demikian, menurut Pdt Abbas, kecintaan warga Sangihe dan Talaud terhadap NKRI ini harus diimbangi dengan perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat. Perhatian itu jangan hanya berupa wacana, tetapi diwujudkan konkret.
Hal-hal mendasar menyangkut hajat hidup warga di perbatasan tersebut, menurut Pdt Abbas, tentu tidak hanya berkaitan dengan aspek keamanan perbatasan, tetapi terutama menyangkut peningkatan kesejahteraan, baik sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun peningkatan infrastruktur pembangunan.
Pdt Abbas mencontohkan masalah infrastruktur, jalan, jembatan, sarana pendidikan, listrik, rumah sakit, masih jauh dari harapan masyarakat. “Jalan-jalan di Kecamatan Gemeh, Esang, Tanpa Namma, dan lain-lain di Kepulauan Talaud, rusak berat dan tidak bisa dilalui kendaraan, padahal jalan mempermudah akses masyarakat untuk menggerakkan sektor ekonomi mereka,” ia menjelaskan.
Kehidupan nelayan juga memerlukan perhatian. Di samping petani, pada umumnya profesi warga Sangihe-Talaud adalah nelayan, yang kehidupan sehari-hari, termasuk membiayai anak-anak dalam pendidikan amat bergantung pada hasil tangkapan di laut.
Banyak nelayan, juga petani, tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat yang lebih tinggi (SMA dan perguruan tinggi). Karena itu, menurut Pdt Abbas, peningkatan kesejahteraan warga masyarakat di Kepulauan Sangihe dan Talaud menjadi hal urgen. “Keadaan yang kurang menguntungkan ini sering membuat warga lebih tertarik keluar daerah, mencari kerja di luar daerah, dan bisa membuat warga mudah terpengaruh dengan ideologi atau budaya dari negara tetangga Filipina,” ia mencontohkan.
Persoalan pembangunan di daerah perbatasan itu menjadi pembahasan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berlangsung di Tahuna pada 2012, dengan Germita menjadi tuan rumah penyelenggaraan. Sidang MPL PGI menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah antara lain mengubah paradigma pembangunan dari "daerah perbatasan" menjadi "daerah terdepan" atau "garda terdepan" NKRI.
Dengan paradigma itu, harus ada perhatian khusus dari pemerintah pusat terhadap pembangunan di Kabupaten Kepulauan Talaud. Namun, hingga kini, harapan tersebut, masih belum menjadi kenyataan. Infrastruktur pembangunan, jalan, listrik, pelayanan kesehatan belum memadai, kalau bukan masih sangat memprihatinkan.
Dalam suatu pelayanan di Desa Riung, di Talaud, menurut cerita Pdt Abbas, listrik hanya menyala pada pukul 06.00 sore sampai pukul 12 malam. Desa itu juga harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena belum ada jalan aspal. Jembatan pun masih dalam bentuk jembatan darurat.
“Tapi masyarakat di sana tetap menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI. Tapi sampai sejauh mana kondisi itu bisa betahan?” kata Pdt Abbas.
Editor : Sotyati
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...