Pejabat PBB: Abad Ke-21 Tak Ada Tempat untuk Hukuman Mati
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Asisten Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), untuk Hak Asasi Manusia, Ivan Simonovic, mengatakan bahwa di abad ke-21 tidak ada tempat untuk hukuman mati.
Dalam pernyataan pers pada hari Rabu (4/11) di markas besar PBB di New York, dia menjelaskan tentang tren penurunan negara anggota PBB yang menerapkan hukuman mati dalam 40 tahun terakhir.
PBB juga meluncurkan buku berjudul: Menjauh dari Hukuman Mati: Argumen, Trend dan Perspektif. Dalam catatan itu disebutkan bahwa dalam kurun 1975 hingga 2015 telah menurun jumlah negara yang menerapkan hukuman mati. Pada tahun 1975 97 persen negara anggota PBB menerapkan hukuman mati, dan tahun 2015 hanya 27 persen yang masih menerapkan.
Di antaran54 negara anggota Uni Afrika (AU), misalnya, 18 telah menghapuskan hukuman mati, dan 19 negara yang secara de facto tidak melaksanakannya. Dan disebutkan dua per tiga negara anggota UA memilih untuk mengakhiri hukuman mati sebagai vonis terhadap penjahat.
Namun demikian, di tengah tren penurunan hukuman mati yang didokumentasikan, ada kemungkinan sejumlah hukuman mati tidak dilaporkan atau tidak didaftar secara akurat.
Peningkatan pada 2014
meski begitu, Simonovic mengatakan bahwa pada tahun 2014 terjadi peningkatan 28 persen jumlah orang yang dihukum mati. "Ini merupakan peningkatan secara keseluruhan di negara anggota yang beralih kembali pada hukuman mati untuk mencegah kejahatan terkait terorisme atau narkotika," kata dia.
Menurut dia, buku itu mengungkapkan tentang adanya sikap secara naluriah pada banyak pihak untuk melawan hukuman mati, namun ada sekelompok besar orang yang membutuhkan argumen yang dapat meyakinkan mereka bahwa praktik hukuman mati harus diakhiri.
Menurut Simonovic, salah satu kelemahan terbesar dari hukuman mati adalah "keyakinan yang salah" tentang tersangka. Kemajuan di bidang investigasi, seperti tes DNA, telah menunjukkan bukti bahwa keyakinan yang salah bisa terjadi "karena tidak ada sistem peradilan yang sempurna."
Tantangan
Dia mengatakan bahwa tantangan terbesar pelaksanaan hukuman mati adalah finalitas keputusan itu. Sebab, tidak ada cara untuk memperbaiki putusan setelah orang tersebut kemudian diketahui tidak bersalah setelah dieksekusi.
Selain itu, Simonovic mengatakan bahwa menurut beberapa penelitian, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati efektif dalam mencegah tindakan kejahatan. "Namun, ada bukti yang meyakinkan bahwa ada korelasi antara hukuman mati dan diskriminasi dan perlakuan yang tidak sama terhadap kelompok rentan," tambahnya.
Simonovic juga mengatakan bahwa dalam banyak kasus, orang-orang yang akhirnya dieksekusi mati adalah orang miskin, dari kelompok rentan atau kelompok minoritas yang kurang beruntung secara sosial atau menderita cacat mental.
Karena Murtad
Lebih lanjut, Simonivic mengatakan bahwa ada masalah di negara tertentu yang masih menerapkan hukuman mati, karena orang itu murtad atau terkait homoseksualitas, dan menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi putusan tersebut.
Kantor HAM itu juga akan mengadakan pertemuan dengan Menteri Kehakiman negara anggota Uni Afrika pada 12 November, membahas tentang "menjauh dari hukuman mati."
Dia mengaharapkan negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati belajar dari negara-negara yang telah mengakhiri hukuman mati dalam sistem peradilan mereka.
Dia menyoroti bahwa dalam kasus hukuman mati, pengadilan menunjukkan kurangnya rasa hormat pada proses penyelidikan dan juga kasus-kasus tertentu yang dilakukan eksekusi yang cepat, bahkan banding pun tidak diperbolehkan.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...